Monday, 16 October 2017

Refleksi Uang Panai, Adat atau Gengsi?

Mungkin istilah uang panai masih asing di telinga sebagian orang, apalagi bagi orang di luar Sulawesi. Tapi cobalah bertanya kepada para pemuda lajang yang berasal dari suku Bugis-Makassar, istilah ini sudah sangat familiar di telinga mereka, apalagi bagi yang sudah siap menikah. Dua kata itu sanggup membuat para pejuang cinta tersungkur, terperosok, terpelanting, dan tak bisa bangkit lagi setelah calon mempelai apalagi calon mertua menyebut kata ini muehehe.
Ahh… Hampir saja lupa kalau tahun lalu film layar lebar uang panai yang merupakan karya cineas muda Makassar sempat mewarnai perfilman bioskop tanah air. Meskipun tidak semua bioskop menayangkannya, namun di beberapa bioskop apalagi di Sulawesi, film ini termasuk box office, apalagi di Makassar, antrian tiketnya melebihi antrian sembako.
Sebenarnya film ini kurang mewakili sudut pandang saya sebagai wanita Bugis-Makassar, jadi anggaplah postingan ini kutulis dalam rangka mengomentari film yang telah tayang tersebut, juga untuk mewakili persepsi para wanita Bugis lain yang mungkin sependapat dengan saya.
***
“Nukira gampang menikah? Dimanako ambil uang panai?”
(kamu kira menikah itu gampang? Dimana kamu mau ambil uang panai?)
“Ballasi Acce, rompana cintayya, itumi saya jombloka”
(Kasihan Acce, ternyata cinta itu ribet yah? Itulah kenapa saya masih jomblo)
“Capekma saya kejarki ini uang panai, mundurma saja di’?”, kata cowok yang menjadi pemeran utama dalam film tersebut. 
(Saya sudah lelah mengejar ini uang panai, apa saya mundur saja yah?)
“Yang dikasih harga itu saya, pake price tag”, kata cewek yang menjadi pemeran utama dalam film tersebut.
***
Itulah beberapa penggalan dialog dalam film uang panai yang jujur saja tidak membuat saya pro. Kesannya seolah-olah merefleksikan bahwa hanya lelaki super yang bisa menikah, hanya lelaki yang punya modal besar yang berhak maju ke KUA. Sedangkan lelaki yang biasa-biasa saja tidak bisa menikah karena terhalang uang panai.
Oh… Iya bagi yang belum tahu, uang panai adalah sejumlah uang yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita untuk pembiayaan pernikahan pihak perempuan dalam tradisi suku Bugis-Makassar. Mungkin sama dengan jujuran kalau di Kalimantan, atau uang seserahan kalau di Jawa. Etapi, uang panai ini bukan mahar loh yah! Jadi beda antara uang panai dan mahar, dan biasanya uang panai berkisar hingga puluhan juta, bahkan ada yang sampai ratusan juta. Jadi selain mahar, pihak lelaki juga wajib menyiapkan uang panai ini jika hendak menikahi gadis dari suku Bugis-Makassar.
Lhaaa.. Trus apa yang salah dengan uang panai ini? Sebenarnya gak ada yang salah sih! Hanya yang jadi masalah adalah ketika uang panai menjadi penghalang atas suatu niat baik. Banyak niat baik yang terhalang karena uang panai yang diminta oleh wali dari pihak wanita dan belum sanggup dipenuhi oleh sang lelaki. Mungkin uang panai ini adalah suatu adat istiadat yang sudah turun temurun dan tidak bisa dipisahkan lagi dari tradisi suku Bugis-Makassar. Akan tetapi saat ini sepertinya sudah menjadi sebuah ‘gengsi’ atau penegasan atas strata sosial bagi sebagian besar masyarakat Bugis-Makassar. Strata sosial yang meliputi pendidikan, keturunan, pekerjaan, jabatan, apalagi kalau gadis yang akan di nikahi profesinya cukup bergengsi seperti dokter, belum lagi jika berasal keluarga pejabat/terpandang, maka bisa jadi pihak lelakinya harus lebih semangat lagi mengumpulkan pundi-pundi uang hehe. Karena katanya faktor-faktor inilah yang mempengaruhi tinggi rendahnya  nominal uang panai seorang wanita (meskipun tidak semua seperti itu).
Sepertinya uang panai ini sudah menjadi suatu ajang gengsi bagi orang yang akan menikah. Pihak lelaki merasa bangga dan terhormat jika sanggup memberikan jumlah uang panai yang besar dan pihak wanita merasa mulia dan bernilai jika nominal uang panai yang di berikan kepadanya besar.
Nah… Inilah salah satu poin yang saya kurang setuju. Bagi saya, image seorang wanita tidak bisa dinilai hanya dengan materi. Terlalu piciklah pemikiran lelaki yang menilai kualitas wanita hanya sebatas materi doang. Bahkan sudah beberapa kali juga saya mendengar kisah teman-teman lelaki yang akhirnya memutuskan mundur duluan karena menilai si wanita ini ‘high grade’ sehingga tidak terjangkau, atau mungkin dia berpikiran kalau uang panai-nya bakalan tinggi nantinya sehingga tidak mampu memenuhi. Hmm… Kalau sudah seperti ini, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pihak lelaki, karena saya tahu di pikiran lelaki tidak jauh-jauh dari kegelisahan mengumpulkan uang modal nikah.
Kegelisahan saya yang lain adalah ketika banyak wanita yang membatasi pendidikan dan prestasinya hanya karena takut ‘tidak laku’ dengan tingginya kualitas dirinya, takut kalau tidak ada lelaki yang mau mendekat karena egonya jika wanitanya lebih keren dari dirinya, atau jika pendidikan dan karir wanitanya lebih tinggi daripada dirinya. Ini bukan hanya cerita saja, teman sekolah saya dulu ada yang seperti ini. Kebetulan dia berprofesi sebagai dosen, di saat dia mendapat beasiswa melanjutkan S3 orang tuanya melarang, karena di usianya yang mendekati kepala tiga, dia belum juga menikah. Padahal wanita sepatutnyalah berpendidikan dan berprestasi setinggi mungkin karena kelak dia akan jadi ibu “Madrasatul Ula” pendidikan pertama buat anak-anaknya, apakah nantinya dia akan bekerja atau menjadi ibu rumah tangga harusnya dia selalu meningkatkan kualitas dirinya demi anak-anaknya. Wanita berkarya dan berpendidikan tinggi bukanlah untuk menyaingi lelaki, akan tetapi dia sadar akan posisinya dan ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya kelak. Jadi para lelaki, janganlah membatasi pasangamu jika ia ingin maju!
Menurut cerita, tradisi uang panai ini merujuk pada slogan tangguh nenek moyang Bugis-Makassar yang seorang pelaut. Slogannya berbunyi Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut ke Pantai. Slogan ini kalau tidak salah berasal dari pepatah Kualleanngangi tallanga natoalia. Yah… nenek moyang suku Bugis Makassar adalah pelaut ulung, mereka merantau untuk mencari ilmu, juga berdagang. Malulah mereka kembali ke kampung halaman jika tidak sukses. Akan tetapi akhirnya definisi sukses disini mengalami penyempitan makna, karena tolak ukurnya adalah materi. Tidak ada yang salah sih, hanya harusnya merantau adalah pekerjaan yang melatih mental berjuang. Berjuang untuk melanjutkan hidup, menimba ilmu demi masa depan yang lebih baik, menambah pengalaman agar mengenal dunia lebih luas, bertemu banyak orang, dan memegang amanah keluarga yang jauh terpisahkan jarak, sehingga merantau adalah latihan untuk menempa diri untuk memikul tanggung jawab, bukan hanya semata-mata untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk uang panai.
Bahkan ada juga yang menganggap bahwa uang panai yang tinggi itu adalah penegasan bahwa untuk mendapatkan seorang gadis tidaklah mudah. Seorang gadis itu berharga. Oleh karenanya, untuk mendapatkannya memerlukan perjuangan yang besar. Perjuangan yang dimaksud tentu saja dalam konteks materi atau uang. Namun, tak jarang sebenarnya penolakan karena soal uang panai ini datangnya dari keluarga pihak wanita, bukan dari wanita yang hendak dipinang. So, that’s why i think bahwa uang panai ini tak jauh-jauh dari soal gengsi.
Padahal sebenarnya dibanding uang panai, ada kesiapan yang jauh lebih penting dan prinsipil untuk dipersiapkan sebelum memulai rumah tangga yaitu kesiapan jiwa dan raga beserta ilmu agama yang akan kita aplikasikan dalam rumah tangga nantinya. Sehingga, kemampuan seseorang menyiapkan uang panai dalam jumlah yang besar bukanlah tolak ukur atas kemampuannya bertanggung jawab dalam rumah tangga. Dan jangan sampai pihak lelaki akan merasa uang panai ini sebagai alat transaksi sehingga akan merasa bisa berbuat apa saja kepada istrinya karena merasa telah mengeluarkan “sejumlah rupiah” yang besar sehingga merasa berhak atas apapun. *Nah..loh..
Mungkin bukan hanya saya yang berpikiran seperti ini, aku yakin diluar sana banyak wanita yang juga berpihak pada tulisan ini. Kita tidak bisa menyalahkan diri kita yang lahir dan besar sebagai gadis bersuku Bugis-Makassar dan kitapun tak bisa mengutuk adat ini, karena dikutukpun percuma, adatnya sudah turun temurun. Yang bisa kita lakukan adalah mulai memahamkan ke orangtua kita masing-masing mengenai hal ini, karena tradisi uang panai yang tinggi masih sangat melekat dalam keluarga.
Karena itu, tahun lalu saat saya akan menikah dan calon suami menanyakan tentang besarnya uang panai yang akan di berikan pada saya (kebetulan suamiku juga perantau), saya sengaja menekankan sama dia kalau tidak penting berapa pundi-pundi uang yang berhasil dia kumpulkan, sayapun meyakinkannya kalau orangtua saya tidak akan memberatkannya. Toh secara pribadipun tidak akan merasa mulia atau berkualitas jika jumlah uang panai yang diberikan kepada saya tinggi, begitupun jika uang panai yang diberikannya sedikit, saya juga tidak akan merasa terhina.
Biar si mister lebih percaya diri untuk maju, saya bilang sama calon suami “Saya tidak peduli berapa uang panai yang akan kau beri, saya hanya butuh alasan yang kuat untuk membelamu di hadapan ibuku. Karena itu belajarlah sebanyak-banyaknya, apalagi belajar ilmu agama karena itu yang lebih penting nantinya buat bekal keluarga kita nantinya”.
Menutup tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan pesan kepada gadis-gadis lajang yang masih menganggap besarnya mahar atau uang seserahan sebagai lambang kualitas dirinya, maka berpikirlah kembali! Tidak sayangkah kalian jika lelaki baik dan sholeh kalian tolak hanya karena dia belum mampu menyiapkan uang yang kau minta?
Bagaimanapun, seorang pemuda baik nan sholeh itu tak ternilai harganya jika dibandingkan dengan harga barang yang mahal sekalipun. Seorang pemuda yang mempunyai akhlak yang santun, visi dan misinya jelas, bertanggung jawab, salat dan tilawahnya bagus, dan suka melibatkan diri dalam kebaikan itu akan menjadi partner yang menyenangkan hati. Bukan karena kemampuannya menyiapkan uang panai dalam jumlah yang besar.
Note: Jujur, tulisan ini saya buat sekedar ingin mengungkapkan unek-unek yang sudah lama bercokol dalam hati. Dan mungkin juga mewakili curahan hati sebagian besar gadis Bugis-Makassar. Saya yakin banyak wanita yang berpikiran seperti saya. Karena itu, berharap dengan adanya tulisan bisa menjadi reminder agar membuat kita semakin bijak mengambil keputusan dalam menerima pinangan seorang lelaki yang bukan hanya berdasarkan materi semata.
#day22
#TantanganPekan4
#OneDayOnePost

No comments:

Post a Comment

Entah Apa Yang Merasukimu Bu Sukma

Setelah membandingkan konde dengan cadar, suara kidung dengan azan, sekarang Bu Sukma kumat lagi dengan membandingkan Nabi Muhammad denga...