Tuesday, 17 October 2017

Ketika Kekuasaan dan Jabatan Menggerus Gelar Akademik

Jadi ceritanya sore tadi saat berselancar di fesbuk, berita tentang Pak Nurdin nongol di berandaku. Berita itu menyebutkan Pak bahwa Pak Professor Nurdin Abdullah yang juga mencalonkan diri untuk ikut pilkada gubernur Sul-Sel tahun depan mencium tangan pemimpin partai PDIP (Megawati), karena menerima rekomendasi dukungan untuk maju pada pilgub Sul-Sel 2018 yang akan datang. Berita ini tiba-tiba viral di sosmed, sehingga menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat maupun pengamat politik.
Kalau saya pribadi, terus terang saja sangat menyayangkan sikap beliau ini. Pertama, karena saya sudah tidak sreg dengan partai berlambang banteng itu yang terkenal anti islam, yang kedua karena tindakan Pak Nurdin ini terkesan telah mengubah idealisme seorang akademisi sekelas beliau dalam merebut kekuasaan sebagai orang nomor satu di Sul-Sel. Apalagi gelar profesor adalah gelar tertinggi dalam dunia akademik. Gelar yang nyaris tidak punya cacat keduniawian. Kalau disejajarkan dengan gelar keagamaan, kira-kira sejajar dengan para sufi, yang memiliki maqom yang berlapis-lapis tingginya. Kurang elok saja ngeliatnya kalau setaraf beliau mencium tangan pemimpin partai hanya karena mendapat dukungan politik. Apalagi pada saat yang sama, terdapat juga calon Gubernur dari provinsi lain yang menerima rekomendasi dari parpol yang sama, tapi dia tidak mencium tangan pimpinan parpol itu.
Padahal saya kagum dan appreciate sekali sama kinerja dan prestasi beliau. Sebenarnya saya sudah berniat akan memilih dia saat pilkada tahun depan, tapi melihat partai pendukungnya dan tindakan beliau yang cium tangan, sumpeeh.. saya tiba-tiba ngilfil dan gak respect lagi.
Seperti kita tahu Pak Nurdin yang bernama lengkap Prof.DR.Ir.H.M Nurdin Abdullah, M.Agr. adalah Bupati pertama di Indonesia yang bergelar profesor, bahkan mungkin pemimpin pertama di Indonesia juga yang bergelar profesor. Di bawah kepemimpinannya Bantaeng di sulapnya menjadi daerah yang maju dan menjadi tujuan wisata serta investor di Indonesia, sehingga tidak lagi di pandang sebelah mata sebagai daerah tertinggal.
Sebelum Pak Nurdin menjabat sebagai Bupati Bantaeng pada tahun 2008, Bantaeng termasuk 199 daerah tertinggal di Indonesia. Tiap tahun dilanda banjir, infrastruktur dan layanan kesehatannya pun dinilai sangat buruk, pertumbuhan ekonominya pun saat itu hanya 4,7 persen saja. Namun dengan kemampuan yang dimilikinya, daerah yang memiliki luas 395,83 Km atau tak lebih besar dari Pulau Madura itu berhasil diubah dan ditingkatkan perekonomiannya dia mensiasati APBD sebesar Rp 821 miliar dengan menggalang sumber lain. Selama 7 tahun, Pak Nurdin bekerja keras untuk memacu pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bantaeng dan hasilnya memang mengalami pertumbuhan dari 4,7 persen menjadi 9,2 persen, dan kini Bantaeng menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan.
Sejak Nurdin menjabat sebagai Bupati Bantaeng, perubahan dalam bidang pelayanan kesehatan pun sangat terasa. Ia menciptakan layanan kesehatan ‘mobile ambulans’ yang beroperasi selama 24 jam. Nurdin memodifikasi mobil Nissan Elgrand yang merupakan hibah dari pemerintah Jepang‎ untuk dijadikan ambulans. Prestasi itu bahkan terdengar sampai ke luar negeri seperti, yaitu Amerika Serikat. Konsul Jenderal Amerika Serikat Joaquin Monserrate‎ terbang ke Bantaeng pada akhir 2014 lalu untuk melihat langsung pertumbuhan ekonomi dan layanan kesehatan ala Nurdin.
Bantaeng yang sekarang bukan lagi Bantaeng yang dulu, pembangunan di Kabupaten tersebut mulai terlihat nyata. Bantaeng saat ini merupakan salah satu pilot proyek Prov. Sul-Sel, tak heran jika daerah ini banyak dikunjungi wisatawan local dan wisatawan mancanegara. Selain daerahnya tenang, sejuk dan nyaman, pemimpinnya pun ramah dan bersahaja.
Sebagai orang yang memiliki keterikatan batin dengan daerah yang di pimpinnya (orang tuaku asli Bantaeng), sehingga keluarga banyak disana, tiap tahun juga selalu mudik ke Bantaeng, setidaknya  sedikit banggalah  karena beliau akhirnya akan mencalonkan diri juga menjadi gubernur, namun akhirnya kecewa karena pemimpin hebat seperti beliau blunder milih partai.
Saya bukannya pengamat politik, namun saya yakin bukan tidak mungkin banyak pendukung beliau yang akhirnya banting stir memilih kandidat lain hanya karena partai di belakangnya. Mungkin begitulah jika jika hasrat kekuasaan dan jabatan yang masih mengecampuk, hingga menggerus gelar akademik.
Oke Fix, sekarang kita move on
Tapi, meskipun begitu, saya tetap berpikiran positif aja dah, mungkin faktor menghormati yang lebih tua. Apalagi saya juga pernah melihat Pak Nurdin mencium tangan Pak Habibie dan Pak JK. Terlepas apakah dia akan terpilih atau tidak nantinya sebagai gubernur Sul-Sel, semoga saja kepentingan politik tidak merubah idealismenya sebagai seorang akademisi dan professor.
Sumber:https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2016/08/profil-biografi-nurdin-abdullah-bupati-kabupaten-bantaeng-ke-9.html
#day23
#OneDayOnePost

No comments:

Post a Comment

Entah Apa Yang Merasukimu Bu Sukma

Setelah membandingkan konde dengan cadar, suara kidung dengan azan, sekarang Bu Sukma kumat lagi dengan membandingkan Nabi Muhammad denga...