Tahun ini adalah tahun ketiga saya menjalani Idul Adha di Sulut, tepatnya di desa Labuan Uki Kecamatan Lolak. Untuk lebaran Idul Adha sendiri saya memang tidak memprioritaskan untuk pulang ke Makassar, berbeda dengan lebaran Idul Fitri yang kudu, harus, dan mewajibkan saya mengambil cuti lebaran sekaligus mudik ke kampung halaman.
Pertama kali lebaran Idul Adha disini tahun 2015 lalu, saya dibuat terheran-heran begitu tiba di taman Lolak, tempatku melaksanakan sholat Ied. Apa pasal? Karena saya melihat di barisan shaft ibu-ibu rata-rata mereka memakai payung sambil menunggu pelaksanaan sholat Ied. Memang sih waktu itu cuaca lumayan panas, tapi pemandangan ini yang menggelar payung di lapangan baru pertama kali kulihat disini, bahkan ada juga ibu-ibu yang membawa kursi ke lapangan
. Karena itu saat hari ini saya melihat pemandangan ini lagi saya sudah tidak heran lagi, sudah terbiasa pemirsah muehehe.

![]() |
Lapangan tempat sholat dipenuhi ibu-ibu berpayung |
Selain ibu-ibu berpayung, ada lagi yang berbeda dari suasana lebaran di Makassar dengan disini. Jika biasanya saat lebaran di Makassar ada kotak amal yang digiring di jamaah sholat untuk diisi, disini tidak ada kotak amal sama sekali, yang ada dua orang bapak membawa kain panjang (kira-kira 1 meter), mereka kemudian memegang kedua ujungnya lalu berjalan depan jamaah sambil membaca sholawatan, kemudian jamaah yang ingin menyumbang melemparkan uang kedalam kain panjang tersebut. Sedangkan untuk shaft wanita, ada dua orang juga yang wara wiri di shaft jamaah, hanya kain panjangnya diganti menjadi mukena yang dipakai si Ibu yang di depan, kemudian ibu yang dibelakangnya membentangkan mukena ibu yang didepannya, nah di mukena inilah ibu-ibu melemparkan uang mereka. Ritual meminta sumbangan yang aneh menurutku, kenapa gak naruh aja kotak amal depan pintu masuk kan yah? Lebih simpel menurutku, atau minta anak-anak yang bawa kotak amalnya nyebar ke jamaah seperti lebaran di Makassar. Tapi mungkin itulah ritual disini.
Jika biasanya lebaran di Makassar penuh dengan pameran baju dan mukena baru yang indah berenda-renda dan berpayat-payat untuk menunjukkan keglamouran dan kespesialan hari lebaran dibandingkan hari lain, disini malah terkesan lebih sederhana. Tidak ada ajang pamer-pamer baju glamour, karena orang yang pergi lebaran rata-rata sudah memakai mukena (disini namanya cipu). Jadi baju baru nan cantik tidak penting lagi dipamerin, bahkan di depanku ada ibu-ibu yang pergi lebaran hanya pakai baju daster yang ditutupi mukena hehe (loh..gpp kan yah? yang penting kan bersih? Kan syarat sah sholat bukan baju barunya?).
Kalau kalian menyangka karena baju barunya gak penting lagi karena ditutupi mukena, berarti mukenanya harus ketche punya dong karena nampak sama orang? Kalau di Makassar mungkin iya, bahkan disana kalau bisa mukenanya yang sutera berpayat yang lumayan mahal, tapi disini gak wajib mukena yang dipakai lebaran kudu yang bagus. Bahkan banyak kutemui di lapangan, mukena yang dipakainya lebaran hanya mukena yang dipakai hari-hari dari bahan parasut atau kain bali yang mungkin harganya tidak sampai 50 ribu. Serius!
Karena itupula saya sempat malu saat pertama kali berlebaran Idul Adha disini 2015 silam, udah gamisku lumayan glamour penuh payat-payat, jilbabku di model-model macam hijabers itu hari, mukenaku pun gak kalah heboh renda-rendanya. Alhasil, teman-teman kerjaku yang orang sini langsung coment katanya “Mau pergi lebaran atau pergi ke pesta buk’?” haha. Yealah bo’, mana gue tau kan kalau disini make daster dan mukena hari-haripun sudah boleh haha. Karena itu sejak tahun lalu dan hari ini di lebaran ke tiga kalinya, pakaian dan mukena sudah tidak ku prioritaskan lagi, yang penting bersih aja dah Titik.
Oiy, lebaran ketiga kalinya ini lumayan spesial buatku, karena saya berlebaran dengan keluarga Pak Nasrul dari Padang dan keluarga Bang Nofri. Mereka ini keluarga baruku disini. Saya sering menghabiskan waktu dirumah mereka.
Setelah pulang lebaran dari Lolak, kamipun menyempatkan diri melihat pemotongan hewan qurban (hewan qurban jatah dari Ibu Bupati untuk desa) di Labuan Uki yang dihadiri oleh kepala desa (disini namanya sangadi). Meskipun sangadi orang kristen, namun dia sangat welcome dengan kepentingan orang Islam disini. Bahkan sebentar siang ada gotong royong warga saat peletakan batu pertama untuk pembangunan mushalla di dusun duapun, pak sangadi yang diminta membuka kegiatannya.
![]() |
Suasana pemotongan hewan qurban yang dipimpin pak Imam masjid Labuan Uki |
![]() |
Warga bergotong royong memotong hewan qurban |
Untuk tahun ini, desa Labuan Uki mendapat 2 jatah sapi dan 3 kambing dari Ibu Bupati. Untuk warga sendiri, disini masih belum banyak yang sadar hakikat qurban, padahal rata-rata orang sini beternak kambing, harusnya bisa mereka berqurban, namun ibadah qurban untuk warga sini belum menjadi prioritas. Dari perusahaan juga tahun ini tidak ada jatah sapi untuk warga sekitar alias tidak mengadakan qurban karena perusahaan habis investasi dan exspansi ke agrobisnis, selain itu managemen di Jakarta juga sedang mengurus sertifikat ISO dan K3 yang dananya lumayan gede, padahal harusnya berqurban adalah salah satu cara untuk memperkenalkan perusahaan kepada warga sekitar. Tapi, tahun depan saya berencana akan mengajak teman-teman yang lain patungan untuk berqurban sapi (1 sapi untuk tujuh orang) untuk warga sekitar. Jadi tahun depan rencana mau qurban disini saja, bukan di Makassar lagi. Semoga rencana ini lancar dan banyak yang mau ikut serta, sehingga bisa terealisasi. Amin
No comments:
Post a Comment