Tuesday, 27 February 2018

24 Weeks:”Anaknya Laki-Laki Bu’, Aktif Banget Lagi”, kata Bu Dokter.

Minggu ini usia kehamilan saya sudah 24 weeks, memasuki weeks ke 25. Kemarin saya berencana mengunjungi dokter kandungan ‘langganan’ saya, dr. Tony Rumbayan, Sp.OG di RS Siloam Manado karena memang sudah jadwalnya kontrol rutin bulananku yang di jadwalkan sang dokter. Harusnya sih pekan lalu, namun karena saya agak-agak pilek, akhirnya saya tunda dulu berhubung agak kurang fit melakukan perjalanan jauh ke Manado.
Nah..kemarin itu kebetulan ada teman kerja yang pulang cuti dari Medan yang harus dijemput malamnya di Bandara, akhirnya saya sengaja izin setengah hari sama Pak Refriza (atasanku)  biar sekalian kontrol ceritanya, jadi hemat ongkos transport dan hemat waktu juga, gak mesti nginap lagi di Manado. Alhamdulilah..si pak bos pengertian sekali dan menyuruh temanku berangkatnya agak awal biar saya juga bisa sekalian periksa.
Begitu dapat lampu hijau dari atasan, berangkatlah saya habis istirahat setelah meeting skype dengan office di Jakarta (setiap hari Senin para staff memang diwajibkan untuk ikut meeting dengan management pusat). Begitu otw, saya telponlah pihak RS untuk melakukan registrasi untuk mendapatkan nomor antrian seperti yang biasa saya lakukan, dan saya langsung kecewa saat sang receptionist bilang kalau pasien untuk dr.Tony hari Senin 26 Februari, udah close karena udah terlalu banyak jadi gak bisa menerima pasien lagi, saya di sarankan untuk mendaftar untuk pemeriksaan besok di hari Selasa.
Duuh.., ya Allah..gimana dong? Udah penuh perjuangan agar bisa ke Manado konsul…eeh..dokternya gak bisa pula, padahal biasanya gak ada masalah (mungkin karena hari Senin kali yah, jadi pasiennya membludak?). Kan saya gak mungkin bolak balik atau nginap di Manado nungguin esok hari untuk bisa konsul dengan dr.Tony? Ini aja udah pegel duduk terus, tapi dikuat-kuatin demi melihat perkembangan si baby. Udah setengah perjalanan lagi, gak mungkin kan mau balik lagi?
Saya mencoba untuk tetap tenang dan tidak panik, sambil memikirkan opsi lain yang bisa ditempuh. Akhirnya saya call balik receptionistnya minta alternatif dokter kandungan lain yang praktek malam selain dr.Tony, namun ternyata apes bener dah, dokter kandungan yang praktek di hari Senin hanya cuma sampai jam 16.00, hanya dr.Tony yang praktek malam, udah gak bisa keburu lagi mengingat perjalanan ke Manado harus di tempuh selama 4 jam, paling cepet bisa sampai disana jam 17.30 itupun kalau tidak macet.
Ditengah kepusingan yang melanda, saat lagi membuka dompet, saya tidak sengaja menemukan kartu nama dr. Meisje (dokter kandungan yang menangani saya saat pertama kali konsul kehamilan di Siloam), saya lihat ada jadwal praktek malam dr.Meisje di kliniknya (kalau siang dokter praktek di Siloam). Gak mikir panjang lagi, sayapun menelpon dokter untuk menanyakan alamat kliniknya dan kalau bisa registrasi duluan biar gak lama nunggu. Alhamdulilah, si ibu dokter cepat merespon dan menyuruh saya ke kliniknya jam 19.00, diapun menjelaskan alamat dan rute ke kliniknya, namun tidak bisa registrasi sama dia, harus datang langsung katanya.
Alhamdulilah masalah bisa teratasi, meskipun hari ini tidak bisa konsultasi di dr.Tony, saya pikir ke dr.Meisje juga gak apa-apalah, sama aja. Qodarullah yah, waktu bulan November 2017 lalu niat hati mau konsul ke dr.Meisje, takdir rupanya membawaku ke dr.Tony..eeh..sekarang jadi kebalik, niat hati mau ke dr.Tony, akhirnya cuma bisa ke dr.Meisje (mungkin nanti saya akan tersenyum kalau mengingat lagi perjalanan kontrol kehamilanku yang mempunyai banyak cerita dan penuh perjuangan yang tidak mudah, untung si baby juga bermental pejuang seperti bundanya, jadi ngerti dan anteng-anteng aja dibawa kemana-mana, alhamdulilah, makasih ya nak udah ngerti kondisi bunda😘).

Baca Juga (Pengalaman Ke Dokter Kandungan Laki-Laki)
Begitu tiba di klinik, saya langsung registrasi dan mendapat nomor antrian 31, dan yang lagi sementara periksa baru nomor antrian 6 pemirsah. Wow..emejiiing gak tuh? Sumpah..langsung lemes saya, udah pegel duduk di mobil 4 jam, belum lagi mau langsung balik nanti malam, sekarang mesti ngantri 25 nomor lagi yang entah jam berapa baru tiba giliranku, udah gitu ngantrinya sambil berdiri pula karena semua bangku udah full (di apotik itu memang ada 4 dokter yang praktek, dan semua pasiennya bejibun, jadi gitu deh..mesti standing ngantri bagi yang gak kebagian kursi😣). Duh..nak’ kalau bukan karena begitu inginnya bunda liat perkembanganmu di dalam yang udah semakin aktif nendang-nendang, mungkin saya udah nyerah duluan nak’, hanya karena kamu ini nak’, bunda jadi tambah semangat meskipun ada banyak alasan untuk mengeluh. Anggaplah ini juga bagian dari didikanmu kelak yang tetap bisa survive dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi setiap masalah, meskipun diperlukan perjuangan yang gak mudah, ayo semangat terus kita nak 💪 *yealaah..kok jadi baper? dasar emak galau* haha😆
Setelah kurang lebih ngantri 3 jam lamanya, akhirnya tiba juga giliranku (udah gak sabaran soalnya pengen cepet-cepet USG 😂). Bu dokterpun mengukur besar tengkorak, berat janin, mengecek keadaan organ-organ, serta mengukur panjang head to rump janin. Saat lagi ngukur-ngukur itulah, saya juga tanya jenis kelaminnya, dokterpun agak kesulitan dan agak lama baru bisa menemukan, soalnya baby saya nggak mau diem haha 🤣Lucu ya… Dia aktif banget, gerak-gerak terus, agak pecicilan kayaknya muehehe😅.
“Berat bayinya normal bu’, nanti porsi makannya gak usah di tambah yah biar saat ngelahirin nanti gak terlalu besar bayinya”, kata bu dokter. (perasaan saya makan gak kuat-kuat amat deh, namun alhamdulilah nutrisi janin terpenuhi, BB ku juga udah nambah 4 kilo dari bulan lalu, pantes baju dan celana udah pada gak muat aja😆)
“Air ketuban oke, letak plasenta juga bagus, cuma posisi bayinya masih sungsang, kepalanya belum dibawah, tapi gak apa-apa kok bu’ masih bisa muter lagi nanti bayinya” (waduh..begitu mendengar kata sungsang, saya sempat khawatir karena banyaknya cerita kurang baik mengenai sungsang yang mesti di Cesar). Tapi menurut dokter hal ini normal, karena bayi saya aktif, dan saat ini baru trimester ke-2, masih banyak kemungkinan untuk bayi bergerak ke posisi kepala di bawah. Semoga bulan depan saat kontrol lagi, posisimu udah baik ya nak…
“Bayinya laki-laki bu, ini burungnya udah nampak. Agak lama nyari penisnya soalnya anak ibu aktif banget, muter-muter terus gak bisa diam” haha😃 (hehe..alhamdulilah, berarti bayinya sehat karena aktif terus, meskipun terkadang bikin susah saya, karena saat malam udah pengen istirahat, dia masih ngajakin main, lagi aktif-aktifnya memang saat malam, gak apa-apa ya nak’, meskipun tidur bunda mulai gak enak dan gak nyenyak yang penting kamu sehat-sehat didalam sana😍😘).
“Detak jantungnya juga normal bu'”, Bu dokterpun memperdengarkan detak jantung bayiku (duh..saat-saat beginilah yang bikin haru lagi saat mendengar suara detak jantungmu nak’), semua lelah yang melanda sedari tadi rasanya sudah terbayar lunas, dan rasanya perjuangan saya tidak sia-sia saat tahu kalau kamu sehat-sehat saja nak, alhamdulilah 😍

Baca Juga (Gerakan Pertama Si Kecil)
Semoga sehat-sehat terus ya nak’, karena kamu nak’ saya jadi tambah semangat menjalani hari-hari yang meskipun mungkin makin banyak keluhan kedepannya, insya Allah bunda akan kuat nak, tetap semangat juga menemani bunda berjuang disini ya sayang. Luv you my baby 😘.

Thursday, 22 February 2018

Ayah Bunda Jadikan Aku Hafidz Qur’an

Seperti yang sudah saya tuliskan di postinganku sebelumnya tentang salah satu prioritas dan resolusi saya untuk mengisi masa-masa kehamilan kali ini yaitu memiliki waktu-waktu khusus untuk membaca, karena itu, kali ini saya ingin sharing tentang buku yang membuat saya haru beberapa hari ini, dan sudah seminggu belakangan menemani saya siang malam, judul bukunya yaitu buku “Ayah Bunda Jadikan Aku Hafidz Qur’an” 
Baca juga (My Pregnant Resolution)
Dua kata untuk buku ini, Masya Allah. Baru pembukaannya saja udah bikin saya haru sampai netes-netes air mata. Buku ini berhasil membuat calon emak macam saya jadi minder dan galau sekaligus banyak-banyak bercermin “Duh..ya Allah..saya yang ngajinya masih alakadarnya, yang tilawah dan tahsinnya masih acakadut, yang hafalan qur’annya masih muter-muter di juz 30 aja, apa iya bisa mendidik anak-anaknya jadi penghafal qur’an nantinya?
Sebab di bab-bab awal dijelaskan kalau pendidikan seorang anak ada dipundak orang tuanya dan kesholehan anak adalah buah dari kesholehan orang tuanya, artinya jika kita ingin menghasilkan anak yang sholeh, orang tuanya dulu yang berusaha mensholehkan diri, kalau ingin anak kita jadi penghafal qur’an, maka orang tuanya dulu yang harus berakrab-akrab ria dengan Al Qur’an agar bisa nular juga ke anak karena terbiasa melihat orangtuanya.
Karena itu dalam buku ini di bahas bagaimana cara orang tua mendidik anak-anaknya dengan Al Qur’an, juga langkah-langkah dan strategi apa saja yang harus dilakukan orang tua yang bercita-cita memiliki anak penghafal Qur’an, lengkap dengan tabel yang bisa di centang-centang.
Karena kado terindah dari seorang anak yang menghafal Al Qur’an untuk orang tuanya di akhirat kelak begitu indah yaitu “Dipakaikan di atas kepalanya mahkota yang megah, dan dipakaikan kepada kedua orang tuanya jubah kemuliaan yang sama sekali tidak pernah dikenakan oleh penduduk dunia. Lalu keduanya berkata; mengapa kami berdua dipakaikan pakaian ini? Maka dikatakan pada kedua orang tuanya, semua ini karena anak kalian menjadikan Al Qur’an sebagai sahabatnya.” Masya Allah 
Setelah mendapat kabar bahwa kado terindah untuk para orang tua yang anak-anaknya menghafal qur’an adalah diberikan mahkota kemuliaan di akhirat kelak, selanjutnya adalah mupeng dan baper, Ya Allah…Mau banget😍. Nah, orang tua mana sih yang tidak menginginkan anak-anaknya menjadi penghafal kitabullah? Pasti semua langsung ngacung kan? Mau..mau..mau..😊
Lalu, di halaman berikutnya kita akan bertemu kisah-kisah inspiratif dari ibu-ibu terbaik yang berhasil membuat anaknya menghafal dan mencintai Al Qur’an. Membaca bagian ini, saya hanya bisa ngangguk-ngangguk takzim sembari mengiyakan bahwa memang peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya memegang peranan utama, bahwa anak-anak yang sholeh lahir dari rahim ibu yang shalihah (kalau sudah begini saya jadi banyak-banyak ngaca “Ya Allah..saya yang begini ini, yang banyak dosa dan aib, yang tidak sempurna ini, semoga masih Engkau beri kesempatan untuk mendapatkan anak sholeh/sholehah, amien). Ibu sholehah yang mengajarkan bagaimana tauhid mengakar kuat dalam dada anaknya, bagaimana iman terpatri dalam jiwa, dan bagaimana taqwa itu tertanam dalam diri anak-anaknya. Masya Allah.
Mungkin karena pentingnya perkara kesholehan orang tua yang sangat berpengaruh pada anak, itulah mengapa para salaf dahulu sungguh-sungguh beribadah demi kebaikan anak cucu mereka. Sa’id Ibnu Musyyaib berkata “Sesungguhnya ketika sholat aku ingat anakku, maka aku menambah sholatku”. Dari perkataan itulah juga, saya jadi tahu bahwa ternyata pembentukan generasi Rabbani itu dimulai dari orangtuanya terlebih dahulu.
Di pembahasan selanjutnya, kita akan bertemu kiat dan metode yang harus diperhatikan oleh keluarga muslim yang menghendaki anak-anak mereka menghafal Al Qur’an diusia dini, karena pendidikan Al Qur’an untuk anak ditekankan untuk dimulai sejak masih balita, dan diharapkan sudah khatam 30 juz sebelum anak memasuki usia baligh, tentunya dengan pendidikan dari orangtuanya.
Di bab terakhir, dibahas amalan-amalan apa saja yang bisa dikerjakan untuk menguatkan hafalan, dan dosa-dosa apa saja yang bisa merontokkan dan menghilangkan hafalan, juga hambatan-hambatan dalam menghafal Al Qur’an bagi anak-anak usia dini, lengkap dengan solusinya.
Akhir kata, buku ini sepertinya wajib dimiliki oleh setiap keluarga muslim yang bercita-cita membentuk dan membangun keluarga Qur’an di rumahnya.
Semoga bermanfaat 😊

Saturday, 17 February 2018

When I Lost My Father A Year Ago

Hari ini tepat setahun abba meninggal dunia. Setahun adalah waktu yang singkat sekaligus panjang untuk saya. Singkat karena rasa-rasanya baru kemarin menit-menit mendebarkan itu berlalu saat nafas abba terhenti tepat di hadapan saya, panjang karena kematian selalu saja membuat jarak terlempar jauh, tidak dapat di tempuh meski dengan kecepatan cahaya sekalipun.
Setahun..iya tidak terasa sudah setahun yah.. saat saya membatin ketika kemarin melewati sebuah masjid tempat sholat jumat dan mendengar seorang ustadz sedang khutbah di mimbar. Saya kembali teringat saat dulu semasa masih kuat abba juga selalu berdiri disitu berkhutbah jumat bergantian dari satu masjid ke masjid yang lain sesuai jadwal yang telah di tentukan Departemen Agama.
Sekarang saya sadar bahwa ternyata bukan kematian itu yang membuat saya sedih dan bermata sembab saat tahun lalu hati saya mendadak kosong saat abba pergi untuk selamanya. Bukan kematian itu kan abba? Sebab saya paham betul bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti untuk setiap kita dan saya pasti juga akan menyusul abba, hanya saja waktunya masih dirahasiakan dan abba yang ditakdirkan Allah pergi lebih awal. Sejauh ini saya mendapati, penyesalanlah yang sering membuat saya mewek, mengapa dulu tidak lebih menghargai kebersamaan, mengapa dulu tidak berbakti dengan sebaik-baiknya, mengapa dulu tidak bisa membersamai lebih lama, mengapa dulu tidak bertutur lebih baik, mengapa dulu saya tidak sering-sering memberi abba hadiah, dan masih banyak lagi penyesalan-penyesalan yang lain. Keadaan ini sungguh tidak mudah untuk diselesaikan, saya tidak bisa sesegerakan mungkin menata hati, tapi seperih apapun perpisahan selalu saja mengajarkan betapa berharganya suatu kebersamaan yang jarang kita sadari.
Abba, saya sudah berjanji untuk tidak boleh lagi mengulang kesalahan yang sama, ke depan saya akan lebih menghargai kebersamaan, berbakti dengan sebaik-baiknya, tidak meninggalkan duka di hati mama dan kakak-kakak saya. Jarak kita saat ini memang sudah terlampau jauh dan akan sia-sia saja meskipun ditempuh dengan kecepatan cahaya sekalipun. Tapi saya yakin do’a saya untuk abba pasti sampai.
“Apabila seseorang mati, seluruh amalnya akan terputus kecuali 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
“Orang-oranng yang beriman, dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (QS. At-Thur: 21).
Setelah orang tua meninggal, ada banyak cara bagi si anak untuk tetap bisa berbakti kepada orang tuanya. Mereka tetap bisa memberikan kebaikan bagi orang tuanya yang telah meninggal, berupa aliran pahala. Dengan syarat, selama mereka memiliki ikatan iman.
Abba, tidak berasa hari begitu cepat berganti, tidak terasa dua puluh delapan tahun saya berada dalam naungan abba semasa abba hidup. Sebuah naungan yang nyaman tempat saya selalu merasa aman. Sebuah naungan menyenangkan, dimana rasa sedih dan galau bisa sekejap hilang kala mendengar nasihat menenangkan yang abba ucapkan dengan lembut dan penuh kasih.
Abba bagaikan malaikat yang dikirim Allah untuk saya. Sebagai sosok pelindung yang menjaga tanpa lelah. Seorang ayah yang memiliki ruang kesabaran melebihi luasnya samudera. Berkat penjagaan abba yang penuh makna, saya bisa menjadi seperti sekarang ini.
Dari abba, saya belajar mengenal Tuhan dan kitab suciku, abbalah yang pertama kali mengenalkan huruf hijaiyah padaku dan mengajarkan bagaimana membaca Al Qur’an dengan tartil. Dari abba saya belajar untuk bersikap tenang menghadapi masalah. Dari abba, saya banyak belajar memaknai berbagai hal tentang makna hidup. Dari abba, saya banyak bertanya tentang ilmu agama, hukum-hukum fiqih dan muamalat, hukum-hukum tajwid, hingga pertanyaan sepele sekalipun. Abba ajarkan segala sesuatu yang ingin saya tahu sehingga ilmu-ilmu yang abba ajarkan masih terkenang hingga kini.
Hari ini, tertanggal tujuh belas bulan Februari tahun 2018, tepat setahun kepergianta abba, namun kami sadar yang pergi itu hanya ragata, bukan ruh serta kenanganta. Masih terekam jelas dalam ingatan semua tentang kita.
Kami masih sangat merindukanmu. Terima kasih untuk segala cita, cinta, dan pengorbanan yang telah abba berikan ke kami anak-anakmu, maafkan kami yang belum bisa membalas sedikitpun, meski memang sampai kapanpun tidak akan bisa kami balas.
Sungguh, abba tak pernah meninggalkan kami. Kepergianmu duluan menghadapNya adalah untuk menunggu kami anak-anakmu dikehidupan kekal abadi. Abba tidak pergi jauh kemana-mana, namun abba tetap berada di hati kami.
Foto di atas adalah foto saat sungkeman di moment pernikahanku, moment terakhir saya bersama abba. Saya bersyukur Allah masih memberikan abba kesempatan menyaksikan pernikahanku, meski tidak lama, hanya dua bulan berselang Allah telah memanggil abba kembali keharibaanNya.

Lewat sujudku kupanjatkan doa, semoga Allah menerima segala amal shaleh abba selama hidup didunia, diampuni dosa-dosata, dilapangkan kuburta dan diberikan tempat terbaik disisiNya. Amien
Al Fatihah..

Sunday, 11 February 2018

Mengenal Baby Blues Dan Postpartum Depression (Depresi Setelah Melahirkan)

Well, seperti yang sempat kusinggung di postinganku sebelumnya (Baca Juga: Serunya Bergabung Di Grup Ceria), di postingan kali ini saya ingin sharing tentang materi yang kudapat di kelas Ceria (Cerita Ibu dan Anak) tentang baby blues and postpartum depression atau yang biasa kita kenal dengan depresi setelah melahirkan. Jadi, sambil nulis ini sekalian saya sambil belajar juga ceritanya (berhubung bentar lagi juga akan memasuki fase-fase ini).
Postpartum depression adalah suatu gangguan dan bukanlah kutukan, bukan juga disebabkan rendahnya moral ibu, bukan penyakit yang mengada-ada, bukan hanya akibat hormon atau kondisi fisik, dan bukan salah siapapun. Semakin cepat ibu mendeteksi kondisi dirinya, semakin cepat dan mudah ibu mendapatkan bantuan untuk kembali normal seperti semula. Sehingga setidaknya, sudah ada program atau langkah antisipasi yang akan membantu ibu yang mengalami postpartum depression agar mendapatkan pertolongan pertama.
Postpartum depression yang terjadi setelah melahirkan mengalami ‘puncaknya’ sampai usia anak satu tahun (O’Hara, 2009). Jadi, PPD ini lebih rentan dialami ibu yang memiliki anak usia sampai dengan 1 tahun.
  • Faktor Penyebab PPD
Tidak ada faktor tunggal yang mengakibatkan postpartum depression, tetapi kecemasan dan depresi saat hamil, baby blues, depresi di masa lalu, kejadian hidup yang traumas dan membuat stress, buruknya hubungan dengan pasangan, kurangnya dukungan sosial dan rendahnya kondisi sosial ekonomi dapat meningkatkan risiko seorang ibu mengalami PPD (O’Hara & Swain, 1996; Beck,2001; Robertson et al., 2004).
  • Baby Blues VS Postpartum Depression
Baby blues (BB) bukanlah sebuah gangguan atau penyakit dan akan hilang dengan sendirinya. Seringkali orang menganggap keduanya sama karena memiliki karakteristik sering menangis dan hampir selalu sedih. Padahal 60-80 % ibu yang baru melahirkan moody, sering menangis, sensitive, mudah tersinggung dan mengalami frustrasi. Perbedaannya adalah pada baby blues hal tersebut silih berganti dengan rasa senang dan mudah diatasi dengan dukungan dari orang lain atau melakukan hobi. Sebaliknya pada postpartum depression hal tersebut menetap dan sulit untuk berubah. Jika perasaan moody tersebut tidak hilang selama lebih dari 2 atau 3 minggu, itu bukan baby blues melainkan bisa jadi merupakan postpartum depression.
  • Apakah saya mengalami Postpartum Depression (PPD) ?
“Apa yang terjadi denganku? Mengapa setelah melahirkan aku merasa menjadi orang yang berbeda? Aku menyayangi anakku, tetapi aku tidak mau berada di dekatnya. Aku lelah. Aku hanya ingin dur nyenyak.” (seseorang yang baru menjadi ibu)
Ada apa dengan istriku? Aku mencintainya. Namun, kapan ia bisa menjadi istriku yang dahulu? Aku merindukannya. Mengapa tidak ada orang yang memberitahukanku mengenai kemungkinan terburuk ini? Mengapa hal ini bisa terjadi?” (seseorang yang baru menjadi ayah)
Berdasarkan pemeriksaan menyeluruh, ibu baru di atas mengalami postpartum depression. Meskipun pasangan ini selalu berkata bahwa hal tersebut dak mungkin menimpa keluarganya, faktanya postpartum depression dialami sang ibu.
Pada awalnya sang suami mendukung dan membantu ibu untuk bangkit kembali, sayangnya karena tekanan pekerjaan, kebutuhan bayi dan kebutuhan ibu juga tidak adanya teman yang mengalami hal serupa, membuat sang suami berpikir bahwa, “Mengapa istri saya tidak bisa seperti istri teman saya?”. Sehingga ia mulai lelah dan mengabaikan masalah postpartum depression yang dialami istrinya.
Bahayanya, hal ini juga dialami keluarga dan teman dekat sang ibu. Mereka yang ingin membantu merasa tidak pernah bisa memuaskan sang ibu. Sehingga, lambat laun mereka menjauh dan kondisi ibu semakin memburuk.
Sayangnya, saat sang ibu merasa ada sesuatu yang salah pada dirinya, tenaga kesehatan seringkali berkata, “Tenang saja bu, wajar kok, nanti juga akan biasa lagi.”Bahkan beberapa tenaga kesehatan hanya fokus pada kesehatan bayi, mereka lupa bahwa kesehatan ibu pun perlu diperhatikan. Suami yang juga harus beradaptasi dengan peran barunya sebagai ayahpun seringkali tidak menyadari perubahan perilaku istrinya dan jikapun menyadari, mudah menyerah karena menganggap hal tersebut ‘wajar’ dan seharusnya istrinya bisa menjadi ibu secara ‘alami’.
Lalu, bagaimanakah ibu belajar mengenali kondisi dirinya? Berikut beberapa pertanyaan yang bisa jadi indikatornya. Apakah ibu mengalami salah satu dari ciri postpartum depression di bawah ini?
  1. Saya  tidak  bisa  menghilangkan  perasaan  tertekan  meskipun  saya  telah melakukan apa saja
  2. Saya menangis setidaknya satu kali sehari
  3. Saya merasa sedih hampir sepanjang hari
  4. Saya tidak dapat berkonsentrasi
  5. Saya tidak dapat menikmati hal-hal yang biasanya saya sukai
  6. Saya sama sekali tidak tertarik untuk bercinta meskipun kondisi fisik saya sudah kembali normal
  7. Saya tidak bisa tidur meskipun bayi sudah tidur
  8. Saya merasa selalu melakukan kesalahan, saya merasa gagal
  9. Saya tidak memiliki tenaga, rasanya saya selalu lelah
  10. Saya tidak berselera makan dan tidak menikmati makanan atau saya selalu ingin makan yang manis-manis, selalu lapar dan tidak dapat berhenti makan
  11. Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya tertawa
  12. Saya mudah kesal dan marah kepada suami, bahkan kepada bayi
  13. Saya merasa tidak memiliki harapan akan masa depan
  14. Sepertinya saya akan merasa tertekan, stress, dan depresi untuk selamanya
  15. Ada saat saya merasa lebih baik mati dibandingkan harus menghadapi perasaan dan masalah ini lagi
Jika ibu menjawab YA untuk empat atau lebih dari empat pernyataan di atas. Sebaiknya ibu segera mencari pertolongan dari tenaga medis atau psikolog.
  • Postpartum Stress Syndrome
“Pokoknya rumahku harus bersih, makanan suami harus empat sehat lima sempurna, aku harus tetap cantik meskipun baru melahirkan, anakku juga harus bersih bebas kuman setiap saat”. Maka, sang ibupun tidak pernah ikut tidur saat bayi tidur. Ia sibuk membereskan rumah, memasak, mencuci tumpukan popok kotor dan berdandan, memastikan dirinya cantik menawan didepan cermin. Setelah  menyelesaikan semuanya, ia kembali melakukan pengecekan apakah semuanya beres sesuai dengan standar yang ia inginkan. Jika tidak, ia akan mengulangi lagi kegiatan di atas, sampai ia puas.
Ada beberapa jenis postpartum stress syndrome yang akan dibahas di bawah ini:

1. Anxiety Disorder
Ditandai dengan rasa cemas, panik sampai merasa sulit bernafas, sakit perut, ingin muntah atau mual, jantung berdebar, khawar terhadap masa depan dengan berlebihan.
  2. Postpartum Obsessive Compulsive Disorder (OCD)
Gangguan ini adalah gangguan yang paling samar dan tidak terdeteksi. Biasanya ibu merasa malu dan ragu untuk mengutarakan apa yang mereka rasakan. Mereka takut dihakimi, dianggap gila, dan sangat takut jika apa yang mereka rasakan itu membuat bayinya direbut secara paksa dari tangan mereka. Maka, mereka memilih menyimpan dan menderita sendirian. Penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan OCD merasa menyakiti bayinya, meskipun mereka yakin bahwa mereka tidak melakukan itu. Pemikiran inilah yang membuat mereka merasa tertekan dan malu untuk mencari pertolongan karena tidak mau dianggap ‘ingin’ atau ‘sudah’ menyakiti bayinya.
“Bagaimana kalau bayiku terlepas dari gendongan? Bagaimana jika saya terpeleset dan mengakibatkan bayi jatuh? Bagaimana jika saya tidak membersihkan kemaluannya dengan baik? Bagaimana jika ruam popoknya membesar? Bagaimana jika saya tidak memberinya cukup ASI?”
Sebenarnya penelitian membuktikan bahwa 91% dari ibu mengalami kekhawatiran di atas, tetapi ibu yang sehat akan mudah mengalihkan pikiran tersebut dan kembali pada kegiatan sehari-hari. Sebaliknya, ibu yang mengalami OCD akan terus memikirkannya berulang kali, dan melakukan hal yang sama berulang kali untuk memaskan bahwa hal kekhawatirannya dak akan terjadi.
 3. Postpartum Post-Traumac Stress Disorder
Ditandai oleh memori yang menakutkan, tidak merasakan emosi apapun, mudah marah dengan meledak-ledak atau mengalami serangan panik saat berada di situasi tertentu atau selalu waspada dengan berlebihan. Gangguan ini menyebabkan ibu merasa sangat takut, tidak berdaya dan merasa diteror atau dihantui yang membuat mereka tertekan, cemas, dan panik tidak terkendali.
Saat melahirkan ibu mengalami kondisi fisik yang lemah, ia terbaring tak berdaya di rumah sakit dengan berbagai suara dan alat bantu kesehatan yang berbunyi tanpa hen. Memori ini dapat memacu trauma di masa lalu, sehingga ibu seakan mengalami trauma tersebut untuk kedua kalinya.
  • Postparytum Emergency
Alhamdulillah, kondisi ini sangat jarang terjadi, meskipun hal terburuk yang paling berbahaya akibatnya adalah bunuh diri. Berikut list pernyataan terkait emergency symptoms sebagai indikator untuk melihat dengan kondisi ibu
  1. Saya takut bahwa saya mungkin akan menyakiti diri saya sendiri untuk menghilangkan rasa sakit yang saya alami
  2. Saya takut bahwa saya mungkin dapat menyakiti bayi saya
  3. Saya mendengar suara atau bunyi-bunyi saat tidak ada siapapun
  4. Saya tidak merasa bahwa pikiran saya adalah pikiran saya sendiri dan saya tidak dapat mengontrol pikiran saya sendiri
  5. Saya dikontrol oleh kekuatan asing besar yang melampaui kekuatan saya.
  6. Saya belum tidur selama 2 hari atau lebih
  7. Saya tidak mencintai bayi saya tidak dapat bergerak untuk mengurusnya
  8. Berat badan saya turun drastis, tanpa berusaha menurunkannya.
Jika ibu menjawab YA untuk setidaknya satu pernyataan di atas, sebaiknya ibu segera mencari pertolongan professional atau tenaga ahli.
Ingat, kebanyakan ibu yang memiliki postpartum depression tidak memiliki emergency symptoms dan tidak pernah berpikir untuk menyaki dirinya sendiri atau orang lain.
  • Apa yang dapat dilakukan jika saya mungkin mengalami PPD?
  1. Berdayakan diri sendiri, semangati diri sendiri dan yakinkan diri sendiri bahwa ibu bisa menghadapinya. Namun, ibu juga perlu sadar bahwa jika hal tersebut tampaknya tidak mungkin dihadapi sendiri, sehingga jangan malu mencari bantuan dari pihak kedua.
  2. Cari pihak kedua yang professional sehingga dapat membantu ibu dengan opmal.
  3. Cari pihak lain sebagai sumber dukungan emosional, seperti pasangan, keluarga dan sahabat. Berhentilah berpikir bahwa meminta bantuan artinya merepotkan orang lain. Percayalah bahwa dukungan dari mereka akan membantu ibu segera kembali seperti sediakala.
  4. Bergerak untuk menerima rasa sakit, gangguan dan hal-hal negative lainnya kemudian menyadari bahwa ibu akan menjadi lebih baik, menjadi seperti sediakala.
*****
Adapun beberapa pertanyaan yang ditanyakan para bunda saat sesi tanya jawab:
Question: Apakah ada cara untuk mencegah terjadinya postpartum depressionKhususnya untuk calon ibu yg masih mengandung agar ketika lahiran tidak terjadi postpartum depression tersebut.
Answer:
  1. Siap berdamai dengan diri sendiri dulu
  2. Isi masa kehamilan dengan knowledge, bahkan sampai sudah melahirkan.
  3. Mengubah mindset kita bahwa anak adalah titipin dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya, perbanyak istighfar, dzikir, doa, berpikiran positif.
  4. Support suami dan keluarga sangat penting untuk “menyembuhkan” kita dari rasa-rasa sakit.
  5. Ikut komunitas-komunitas positif juga berpengaruh agar kita kembali semangat menjalani hari- hari kedepan bersama buah hati.
  6. Dari awal harus dikomunikasikan ke suami kemungkinan-kemungkinan terjadinya postpartum depression, agar suami bisa memahami nantinya.
  7. Batasi kunjungan tamu jika perlu setelah melahirkan.
Question: Apakah Postpartum depression dan Baby Blues (BB) pasti akan dialami oleh setiap ibu yang melahirkan kah?
Answer: Baby blues hampir 80% wanita mengalaminya, kalau postpartum depression kemungkinannya 15%.
Question: Apakah seorang calon ibu yg memiliki sifat introvert lebih rentan terhadap postpartum depression? Terkadang ditengah  usia  kandungan yang semakin  besar ada rasa takut, cemas, ditambah juga sedang bekerja dan dikerjaan sibuk, ada tekanan. Menyebabkan stress secara batin tapu sayangnya tidak bisa mengkomunikasikan dengan baik kepada suami karena bingung memulai pembicaraan. Jika memulai berbicara tapi justru tidak semua keluhan bisa mengalir seluruhnya. Apakah kondisi tersebut bisa mendatangkan postpartum depression dikemudian hari?
Answer:
  1.  Sebaiknya mulai latihan ngobrol dengan suami, karena basicnya laki-laki tidak bisa membaca ‘kode’ dan ada kemungkinan ingin bantu tapi tidak tahu bagaimana cara membantu kita atau merasa kita tidak memerlukan bantuan.
  2. Belajar  menerima  kalau  diri  kita  memang  butuh  bantuan  dan  teman  sharing  terutama dengan pasangan atau orang tua.
  3. Menyederhanakan pemikiran, buang jauh-jauh kekhawatiran-kekhawatiran yang belum terjadi, sering cerita dengan yang sudah mengalami/mengatasi untuk tahu bagaimana mencegahnya, terbuka, jangan segan untuk cerita ke suami. Minta masukan dari orangtua/mertua.
  4. Mengikuti childbirth education (edukasi kehamilan & persalinan).
Question: Yang harus dilakukan agar tidak terjadi baby blues atau postpartum depression? Berapa lama mempersiapkannya?
Answer: Perkaya pengetahuan tentang hamil. Ketika mendekati waktu melahirkan, yang diperkaya pengetahuan tentang ASI, mengurus kebutuhan anak, parenting dan sejenisnya.
Question: Apa perbedaan stress dengan depresi?
Answer:Stress itu normal, semua orang pasti pernah merasakan saat menghadapi tekanan. Lebih mudah diatasi, masih ada suasana senangnya. Contohnya stress mau ujian, mau lahiran, dll. Depresi lebih berat, tidak semua pernah mengalami. Suasana hati buruk, motivasi kurang, malas aktivitas, merasa tidak punya masa depan. Perasaan ini cenderung menetap, setidaknya dua minggu berturut-turut.
Question: Apakah ibu yang punya kecenderungan perfeksionis punya kecenderungan  untuk mengalami postpartum depression?
A: Bisa jadi, tapi tidak selalu. Orang perfeksionis cenderung banyak target dan mengejar kondisi paling ideal. Misalnya lahiran harus normal, harus full asi, rumah harus tetap terurus. Jika target gak tercapai, maka kekecewaan besar akan dirasakan. Maka dari itu, belajar untuk berdamai dengan diri sendiri, lebih menerima apa pun yang terjadi saat kelahiran dan setelahnya akan membantu untuk mencegah postpartum depression. Tidak ada ibu yang sempurna, yang ada hanyalah ibu yang selalu berusaha memberikan usaha terbaiknya.
Question: Apa sih yang bisa kita lakukan sebagai teman dari ibu postpartum depression/baby blues? Misal saat menengok pasca persalinan, apa saja ‘do’ dan ‘dont’ nya?
Answer:
  1.  Tanyakan dulu kabar ibunya,baru bayinya.
  2. Bawakan kado buat ibunya, misal masker wajah, minyak zaitun atau apapun yang disukai oleh ibunya
  3. Jangan terlalu fokus sama bayinya, lebih banyak ngobrol sama ibunya, karena intinya bayi insya Allah sehat, tapi ibunya pasti masih merasakan sakit jahitan, kurang tidur, sedih, capek, dan bingung.
Question: Adakah treatment tambahan selain dukungan suami dan ortu, misal mendengarkan musik, menghirup aroma therapy, atau me time lainnya yg bisa dilakukan utk meredakan postpartum depression/baby blues?
Answer: Lebih baiknya mendengarkan murrotal qur’an. Baik bagi ibu dan calon bayi.
****Demikianlah materi yang bisa ku sharing dari Komunitas Ceria. Semoga bermanfaat 

Entah Apa Yang Merasukimu Bu Sukma

Setelah membandingkan konde dengan cadar, suara kidung dengan azan, sekarang Bu Sukma kumat lagi dengan membandingkan Nabi Muhammad denga...