Tuesday, 25 April 2017

Wanita dan Masak Memasak

Jadi ceritanya tadi lagi asik membaca tulisan-tulisan lama di fesbuk. Tiba-tiba muncul di timelineku memories setahun yang lalu tentang judul diatas, akhirnya jadi mesem-mesem sendiri saat membaca tulisanku setahun lalu. Waktu itu karena gerah melihat meme foto bu Susi yang belakangan itu berseliweran terus diberanda, akhirnya terinspirasilah saya menulis postingan tersebut.

Setahun yang lalu saya masih single jadi tulisanku menurut kacamata gadis lajang, tapi karena sekarang saya sudah nikah dan sudah berstatus istri, saya jadi tertarik menulis ulang tema dengan judul diatas setelah berganti status versi “after marriage” (halaah..sok gaya kali lah yah., padahal belum juga sering-sering eksis didapur, boro-boro mau masak, sekarang aja masih mengharapkan nasi rantangan bu catering di mess pabrik, maklum masih LDR-an hahaha).
Punya Istri Nggak Bisa Masak? Tenggelamkan!
Baru baca tulisannya udah seyeem bin sadis kali yah? Kok jadi serasa nyindir-nyindir eike😂.Apalagi sekarang statuz ane udah berubah dari seorang gadis menjadi seorang istri. Maklum, saya ini termasuk tipe wanita yang tidak belum doyan memasak (halaaah..bilang aja gak bisa buk' whahaha). Tapi bukan berarti gak mau belajar loh yah😆.

Hmm...Memasak yah?
Aww..aww..aww..Jujur saja, dari semua soft skill dan hard skill yang saya miliki yang ada di checklist "Persiapan Sebelum Nikah" dulu saat masih lajang, memasak adalah skill yang puaaliiiing njelimet dan malas buat dipikirin (baru dipikirin aja udah njelimet, apalagi kalau dikerjain yah? wkwkw) ðŸ˜†.

Padahal nih yah..mungkin buat para lelaki (suami), istri yang bisa masak adalah salah satu kriteria yang paling diinginkan buat calon istrinya kelak. Karena mungkin salah satu bayangan asyik pasca pernikahan adalah bakalan dimasakin aneka macam rupa makanan sama istri ( eehhmm..dari yang traditional hingga modern food, dari kue traditional hingga modern cake), eeh..tau-taunya dapat istri yang skill masakanya hanya seputaran telur dadar doang  yang diceplok, hanya dimodif dikit dipakein cabe dan saos tomat, apa gak kasian tuh?  ðŸ˜‚
Lach..terus apa saya, kita, anda atau mereka yang tidak bisa memasak lantas tidak patut menjadi istri? Toh tugas istri bukan cuma masak memasak doang kan? 

Karena itu sebelum menikah kemarin, saat masih masa-sama pedekate lewat surat-suratan sama si mister *eaaaaa*, saya merasa perlu dan wajib lapor perihal kemampuan memasakku yang masih dibawah standar wkwkwkwk. Bukan apa-apa sih, soalnya si mister ini ribet sekali soal makanan, beda denganku yang tidak terlalu pilih-pilih makanan, apalagi lidahnya yang agak ke western-westernan gitu, takutnya nanti dia bakalan banyak complain hanya karena masakan yang tidak sesuai lidahnya. Padahal boro-boro deh  masak ala-ala western, yang traditional aja masih acakadut rasanya wkwkwkw.
Untungnya waktu itu jawaban si mister memuaskan hatiku “Saya bukan mencari koki kok, tapi saya mencari istri, yang penting bisa masak nasi, kalau lauknya gampanglah itu bisa kita cari sama-sama, lagian saya makannya gak ribet kok, yang penting ada kentang”.

Yuhuuuy., asek kan pemirsah kalau jawabannya gitu ( but..entahlah yah..itu jawaban jujur atau hanya jawaban terpaksa untuk menenangkan hatiku biar saya gak mundur wkwkwk), tapi biar gimanapun saya tetap berniat akan belajar memasak kok demi dikau dan si buah hati nantinya *aseeeek* ðŸ’ƒ . Etapi harus sabar yah, bantu aye menjalani prosesnya yang bagaikan ular naga panjang muehehe.

Jadi saya ingat dulu saat masih kuliah, saya pernah iseng nyeletuk sama mama yang level masaknya lumayan enak ” Ma..saya kan gak bisa masak nih, trus gimana dong yah nasibnya nanti suami sama anakku, kasian kali ya ma”. Mama waktu itu cuma bilang, “Masak itu gampang sayang! Asal dibiasain aja ngubrek-ngubrek dapur, asal alasannya cinta pasti dilakuin, terus tau-tau..eeh..bisa sendiri”.

Wuuiih..langsung adem hati ini mendengar kata-kata mama. Maklum bo’, waktu saya bertanya itu masih dalam kondisi polos yang gak bisa bedain lengkuas sama jahe, masih sering salah saat diminta beli merica tapi yang dibeli ketumbar, juga saat dimana nunjuk daun pepaya sambil ngomong ke daeng sayur “daeng..daun singkongta yang itu nah”. Hadeh,,siapa suruh sih bahan-bahan itu bentuknya mirip-mirip semua ðŸ˜›. Namun sekarang alhamdulilah kondisinya jauh lebih baik, udah dapat ilham bagaimana cara ngebedainnya hihi.
Dan ternyata eeh..ternyata bener loh! Belajar dari kakak ipar yang dulunya awal-awal nikah juga belum bisa masak, habis itu dengar-dengar cerita teman yang udah nikah duluan, katanya masak itu hanya perkara nyoba aja! Tau-tau bisa bedain aneka bumbu dapur, tau-tau udah bisa ngira-ngira takaran gula dan garam yang pas, dan tau-tau udah bisa langsung expert aja, dan udah bisa jadi master cheff sekarang *eaaaaa 
Oh..iya..tiba-tiba teringat pernah baca buku bunda Asma Nadia (lupa judulnya apa). Waktu itu dia cerita ngabisin waktu berjam-jam buat bikin sayur asem doang, sampai suaminya protes  dan bilang ” Bun..kalau tau bakal ngabisin waktu sebanyak gini didapur, daripada masak mending kamu nulis buku aja deh”! 
Nah kan..nah..kan..suami sejati memanglah mereka yang paling paham potensi cemerlang istrinya, sehingga lebih mendorong istrinya untuk sukses di passionnya masing-masing, kan tidak semua wanita passionnya di masak memasak (eeaaaa..membela diri sendiri) wkwkwkw
Jadi, buat wanita-wanita atau emak-emak yang belum lincah dalam hal perdapuran kayak ane gini hihi, gak usah terlalu panik yeee apalagi takut ditenggelamin hihi.
Daripada sutriiis duluan ngadepin dapur, mending salurkan energi positif kita dulu ke hal-hal yang lebih produktif, lebih bermanfaat, seperti nulis status fesbuk atau nulis diblog kayak eike misalnya wkekeke.

Tapi eeitts..gak bisa masak bukan berarti malas dan gak mau berusaha loh yah! Minimal aktif cari-cari resep (kalau resepnya sudah ada kan pasti nanti bakalan tertarik juga buat dieksekusi, meskipun dari semua resep yang ditulis baru 5 % nya yang sudah dipraktekin wkwkwkw). Kalau gak nyebranglah ke tetangga sebelah minta diajarin, mana tau kan tetanggaan sama Farah Quin, atau minimal gabung di grup masak-masak ala emak-emak “Langsung Enak” atau “NCC” misalnya sambil belajar dunia perdapuran dan perbakingan sama mba Irma Virdi atau mba Irma Marcella (Loh..kok saya tahu? Ya..iyalah..saya juga kan salah satu member grup tersebut, meskipun hanya jadi silent rider doang, sambil sesekali ngesave resep, meskipun entah kapan baru bisa dipraktekin whahahaha), lumayanlah untuk menambah motivasi didunia perdapuran.

Karena percaya deh, masak sendiri pastinya lebih sehat, hygienis, bebas penyedap, pengawet, pewarna dkk nya. Dan pastinya masakan istri pasti ada “khas” tersendirinya yang selalu ngangenin dikala jauh, apalagi jika ada bumbu “cinta” didalamnya *eaaaa*.

Dan lagi masakan juga bisa jadi simbol pelampiasan emosi loh! Misalnya nih..istri lagi marah, akhirnya masakannya dibanyakin garam sama cabenya hahaha. Secara tidak langsung kode-kodein suami dengan masakan (so sweeet gak tuh?).

Intinya..sebenarnya memasak bukanlah soal bisa atau tidaknya, tapi mau atau tidaknya mencoba dan berusaha! Bukankah sungguh besar pahala bagi wanita (istri) yang mau berletih-letih belajar memasak demi menyenangkan suami? Dan saya percaya “memasak” adalah salah satu cara menyenangkan hati suami *acieee..semoga suatu waktu nanti saya bisa memprioritaskan diri memasak buat pak suami.

Jadi..perbaiki saja niat kita para istri dalam memasak! Niatkan semata-mata hanya untuk mencari ridho Allah dan ridho suami, bukan karena takut ditenggelamkan loh yah ðŸ˜„ !

Friday, 21 April 2017

Jika Saya Jadi Warga Jakarta

Jujur, saya adalah tipe orang yang lebih sering golput jika pemilu. Bukannya tidak percaya dengan bakal calon, hanya saja menurutku dengan golput adalah langkah paling aman untuk terhindar dari dosa jika nantinya pemimpin yang kupilih tidak amanah.
Namun, kasusnya berbeda jika seandainya saya jadi warga Jakarta yang punya hak pilih di pemilihan gubernur besok, Insyaa Allah saya tidak akan golput.
Golput memang pilihan dan hak kita sebagai warga, tapi yang mesti diingat adalah jika kita dan jutaan orang muslim lain tidak ikut pemilu, maka jutaan orang fasik, orang kafir, orang sekuler, orang liberal, dan orang atheis akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai kita.Bukankah Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Kedzhaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat. TAPI karena DIAMNYA ORANG BAIK”.
Lantas, siapa yang akan saya pilih? Pertama, tentunya saya akan memilih yang seakidah dengan saya. Alasannya karena dengan akidah yang sama, bisa memegang pemahaman yang sama pula. Saya memahami bahwa kepemimpinan adalah amanah dari Allah Swt, maka saya harus memilih seseorang yang memahami kepemimpinan sebagai amanah untuk mengembannya. Bagaimana mungkin saya memilih seseorang yang tidak percaya dengan Allah? Percaya saja tidak, mana mungkin dia akan merasa bertanggung jawab pada Allah. Kedua, saya akan memilih pemimpin yang bisa menjadi contoh dan teladan bagi rakyatnya, yang santun budi pekerti dan akhlaknya, yang bisa menjaga lidahnya. Bangsa kita yang beraneka suku bangsa dan agama membutuhkan perekat, bukan perusak yang suka menyinggung hati penganut agama yang berbeda dengannya. Pemimpin harusnya bisa diteladani dalam hal moral karena bangsa kita adalah bangsa bermoral. Ketiga, saya akan memilih pemimpin yang adil, cerdas dan berpendidikan, karena pemimpin haruslah berwawasan tinggi dan memiliki komitmen untuk memperhatikan bidang pendidikan dan keilmuan, karena pendidikan adalah modal yang utama untuk mewujudkan kemajuan dan sumber daya masyarakatnya.
Begitulah cara saya memilih, silahkan jika punya pilihan yang berbeda. Saya tidak mempermasalahkan. Namun, pilihan yang dicetuskan tentu menggambarkan karakter pemilihnya. Orang yang berkualitas akan memilih calon pemimpin yang lebih berkualitas. Sesederhana itu ðŸ˜€
TIGA alasan tersebut cukuplah membuat saya tidak memilih golput. Sayangnya saya bukan orang Jakarta dan tidak punya hak memilih besok, tapi saya yakin teman-teman di Jakarta adalah pemilih cerdas yang pandai memilih pemimpin berkualitas.
Jadi gaes teman-teman di Jakarta, Jangan Golput! Meskipun kemungkinannya cuma 1%, Marilah kita dukung pemimpin muslim yang beriman kepada Allah dan Al Qur’an. Berniatlah berbuat baik meskipun hasilnya belum tentu sebaik yang kita inginkan ðŸ™‚

Sunday, 16 April 2017

Bagaimana Rasanya Berjarak?

Jujur, saya tidak pernah membayangkan bakalan menjalani LDR pasca menikah. It’s not my wedding dream. Dalam benakku pernikahan impian adalah yang sehari-hari bisa bersama pasangannya. Bangun tidur, ada pasangan disisi, membangunkan anak-anak untuk shalat subuh berjamaah, bisa menyiapkan sarapan untuk keluarga sebelum berangkat kerja, serta menyambut suami saat pulang kantor dengan senyuman. Yah..Mungkin terdengar sangat klasik, bahkan kebiasaan ini bisa jadi membosankan dan monoton sebagaimana orang kebanyakan, namun setidaknya dengan begitu lebih dapat menjalin ikatan kebersamaan dan ikatan emotional antar anggota keluarga.
                    
Bagaimana rasanya berpisah sementara waktu?
Karena itu saat temanku bertanya bagaimana rasanya berpisah sementara waktu dengan suami? Saya berulang kali mengulang pertanyaan ini hingga hampir terdengar basi. Yang ku rasakan, jarak adalah nestapa bagi dua orang yang tengah menemukan kenyamanan satu sama lain. Yang ku rasakan, berpisah adalah rentan hubungan yang makin rapuh. Dan yang ku rasakan, jauh adalah waktu yang harus sama-sama kita sepakati.
Apakah memang kita sudah ditakdirkan Tuhan bakal menjalani hubungan pernikahan dengan jarak sebagai ujiannya? Sampai kapan jarak menjadi orang ketiga diantara kita?
Berpisah sementara waktu? Kemudian yang tersisa adalah rindu atau lupa dari berbagai macam jenisnya.
Karena itu saat memutuskan menerima pinangan suami yang itu artinya saya harus siap ditinggal dan menjalani LDR sebagai konsekuensi bersuamikan orang proyek (migas), saya sempat meragu. Lama ku menimbang-nimbang keputusanku sebelum akhirnya memutuskan menikah dengan orang migas, karena yah itu tadi saya tidak mau di tinggal-tinggal setelah menikah.
Banyak orang yang ingin bersuamikan orang migas atau orang tambang karena katanya ‘penghasilannya besar’, tapi kenapa bagiku tidak yah? Malah justru dulu saya memimpikan punya suami seorang ustadz ataupun PNS saja yang meskipun penghasilannya tidak seberapa, yang penting bisa selalu bersama suami. Kalaupun harus ditinggal karena dinas, itu hanya sementara waktu, beda dengan di tinggal suami yang orang tambang dan orang migas yang memang kerjaannya harus jauh dari keluarga. Namun Qadarullah, ternyata saya di takdirkan Allah bersuamikan orang migas, yang itu artinya saya juga harus siap menerima takdirnya yang bakalan sering-sering di tinggal karena kerjaan, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka.
Beberapa tahun bekerja di tambang dan proyek dimana teman-temanku semua juga menjalani LDR dengan pasangannya, sehingga sudah bisa memberikan pelajaran dan pengalaman bagiku betapa hubungan berjarak banyak menimbulkan ujian. Bukan hanya berupa ujian eksternal seperti orang ketiga misalnya, namun juga ujian internal seperti egosentris dari diri kita sendiri. Bahkan tidak jarang banyak pejuang LDR an yang merasa tidak sanggup bertahan dengan gelombang ujian jarak dan waktu yang semakin mengikis perasaan mereka terhadap pasangannya. Akhirnya ada yang memilih bercerai lalu nikah lagi, ada pula yang memilih terpaksa melanjutkan pernikahannya tapi dihatinya sudah ada kekasih idaman lain yang ditemuinya di lokasi tempat kerjanya.
Itulah mengapa saya menjadi ragu. Bukan..bukan meragukan dia tidak bisa menjadi suami yang baik, ataupun ragu dia bakalan tertarik dengan ‘wanita lain’, namun saya meragukan diriku sendiri yang bakalan tidak sanggup menjalani hubungan berjarak.
Yang kutahu, jarak itu menyebabkan 2 hal; RINDU atau LUPA. Kalaulah dengan berjarak kita selalu saling merindu maka masih sehatlah hubungan kita. Namun bagaimana jika jarak membuat kita lupa satu sama lain? Terlalu sibuk dengan urusan sendiri-sendiri membuat kita pelan-pelan saling melupakan tanpa kita sadari? Ahh..membayangkannya saja bahkan saya tidak berani ?.
Saya hanyalah wanita yang masih sangat dominan perasaannya. Mungkin orang bilang saya kolot, mungkin benar saya kolot karena terlalu takut jarak ini mampu mengikis sedikit demi sedikit cinta yang telah terbangun pasca pernikahan. Saya hanya takut kita menjadi akrab dan terbiasa dengan berjarak, sehingga kehadiran pasangan bukan lagi menjadi kebutuhan yang selalu di damba.
Awal-awal berjarak pasca menikah, komunikasi kami masih sehat (maklum lah yah..pengantin baru yang baru berpisah ), bahkan bisa dibilang sampai kurang kerjaan, ngomong sampai gak kenal waktu, serta WA ku pun tiap detik muncul pesanmu, dari membahas masalah penting hingga chat hal-hal yang tidak penting lainnya. Namun semakin lama, kekhawatiranku nampaknya mulai kelihatan dengan intensitas berkomunikasi kita yang mulai berkurang, bahkan WA pun hanya tinggal sekedarnya saja, tidak ada lagi chat basa basi seperti sebelumnya.
Entahlah, saya tidak mengerti apa yang terjadi dengan hubungan kita yang mulai terasa hambar. Apakah karena keterikatan hati yang masih rapuh? Ikatan emotional yang belum kuat? Kesibukan dan pekerjaan yang berhasil menjadi orang ketiga yang merenggangkan hubungan kita? Atau kita sama-sama tidak merasa ada yang kurang atau ada yang hilang saat kita tidak berkomunikasi?
Terkadang saya iri dengan bapak-bapak disini yang meskipun sudah puluhan tahun menikah, bahkan sudah bercucu, tapi masih begitu mesra dengan istrinya. Tiap saat berkomunikasi, siang dan malam, bahkan paketan telponnya kadang tidak mencukupi saat menghabiskan waktu mendengar suara istrinya. Pengen rasanya kita seperti itu juga, seperti dulu saat awal-awal berjarak.
Saya takut..sungguh sangat takut..jika sekarang saja kita sudah sok sibuk seperti ini, saya takut membayangkan bagaimana nanti setelah bertahun-tahun menikah!
Jarak..ohh..jarak..Apakah yang jauh harus selalu kita? Kemudian rindu jadi semacam tendensi yang membuat kita terserang virus aneh bernama ‘lemah’. Lalu apakah jauh yang kita maksud adalah semacam konspirasi agar kita saling menyepakati waktu? Entahlah..saya juga sedang belajar untuk bisa jauh yang menenangkan.

Tapi saya selalu berharap semoga hubungan berjarak yang kita sama-sama sepakati sekarang ini karena ada hal-hal yang belum memungkinkan kita agar bisa kembali bersama dapat segera berakhir dan kita bisa berkumpul kembali seperti layaknya pasangan pada umumnya dan semoga meskipun sekarang kita dipisahkan oleh jarak tapi komunikasi kita sehat setiap harinya. Mari kita sama-sama belajar sebagai pasangan yang baru mencoba mengerti menyelami hati dan perasaan pasangannya. 

 Semoga Allah senantiasa mendengar doa-doa kita. Amien

Monday, 10 April 2017

Menulislah Bila Stress!

Sebenarnya ini metode therapy yang sering saya pakai jika sedang stress atau lagi banyak pikiran, dan memang metode ini sangat mujarab buatku, karena itu saya menganjurkan buat anda yang sedang dilanda stress, patah hati, galau, atau lagi banyak pikiran, maka menulislah! Tuangkan kegalauanmu dengan lebih elegan dalam bentuk tulisan. Menulis adalah terapi yang baik ketika jiwa mengalami kesepian dan merana berkepanjangan.

Pak Habibie misalnya, ketika ditinggal pergi oleh ibu Ainun, ia memilih menulis untuk meluapkan kesedihannya. Padahal, dokter pribadinya sudah angkat tangan, ia berkata "Pak Habibie sangat terpukul. Jiwanya goyah. Ia akan menjadi gila dan tidak bisa disembuhkan.”

“Pilihannya hanya dua, menerima hal itu (menjadi gila) atau cobalah menuliskan semua kenangan yang telah dilewati bersama?” Kita tahu pak Habibie cerdas. Ia mengambil pilihan yang tepat, yaitu menulis. Dan akhirnya buku yang ditulis saat beliau lagi sedih dan gundah itu menjadi best seller. Dibaca oleh banyak orang dan bahkan sampai difilmkan, keputusannya menulis adalah pilihan paling bijak.

Hasil tulisannya juga luar biasa, terbukti bahwa orang-orang yang mengalami tekanan, kecewa, kegalauan dan depresi bisa menghasilkan tulisan yang lebih menggigit. Setiap orang pasti punya problem dalam kadarnya masing-masing. Dan sebagai makhluk sosial sudah menjadi kebutuhan punya teman sharing. Entah itu pasangan hidup, keluarga, atau sahabat. Namun terkadang, selalu saja ada hal-hal yang tak mudah dikatakan. Setiap kali ingin mengutarakan, tiba-tiba lidah menjadi kelu, mulut jadi gagap entah karena apa. Akhirnya, kata-kata yang sudah disiapkan sebaik mungkin itu kembali mengendap, mencipta residu yang terus mengganjal dalam hati. Nah..menulis, bagi saya, adalah semacam ikhtiar untuk mengikis residu itu sedikit demi sedikit.

Sungguh beruntung kita yang bisa menulis. Apapun suasana hati mampu kita gambarkan, kalaupun masalah belum kelar, minimal uneg-uneg tersampaikan. Suasana hati yang membaik memungkinkan bisa berpikir jernih dan mencari solusi atas masalah yang dihadapi. Artinya separuh problem teratasi. Tinggal mengeksekusi keputusan finalnya. Karena terkadang keputusan yang instan yang diambil kala masih dalam emosi labil akan membawa mudharat dan penyesalan.

Mungkin apa yang tersampaikan ini menceracau tidak jelas. Memang saya akui, ini media terapi yang saya ambil. Kalau dirasa ada sedikit manfaat boleh diambil. Selebihnya silakan buang saja. Mengakui jujur kondisi diri itu tidak gampang. Ada faktor gengsi disana. Tetapi faktanya menjadi sangat nyaman kala mampu mengakui "iya, saya stres".

Tulisan adalah teman yang akan memahami dan memaklumi kesedihanmu, rasa sakitmu, kemarahanmu, keputus asaanmu, kegilaanmu, dosa-dosamu, hingga kebagian dirimu yang paling buruk, gelap, dan hina bahkan hingga kedasar-dasarnya. Tulisan adalah teman yang tidak akan menghakimi atau membocorkan rahasia. Karena itu, kita tidak perlu membual dan menutupi apapun darinya. Dengan menulis kita bebas berekspresi semau kita, dengan bahasa sesuka kita, tanpa takut menyinggung orang lain, tanpa takut komentar orang lain.

Baca juga (Tulisan Itu Mencerminkan Isi Hati)

Karena itu Jika stress, Menulislah! Dengan menulis kita bisa mengurai segala permasalahan yang ribet menjadi gamblang agar permasalahan itu tidak sampai mengendap dialam bawah sadar sehinggga melahirkan masalah psikis yang serius.

Saturday, 8 April 2017

Ketika Istri Cerewet

Bingung yah kalau istri lagi cerewet? 

Secara linguistik, wanita lebih cerdas dari lelaki, karena perbendaharaan kosakatanya juga lebih banyak. Jika laki-laki hanya butuh mengeluarkan 5.000-7.000 kata/hari, wanita butuh mengeluarkan 20.000-50.000 kata/ hari *wooow...emeejing gak tuh* hahaha
Rata-rata wanita memang lebih banya 'suara' dibanding lelaki. Lelaki bicara jika dibutuhkan, seperlunya saja, to the point, sementara mengungkapkan uneg-uneg adalah kebutuhan bagi wanita. Jadi pada dasarnya wanita bukan mau cerewet, mereka hanya berusaha menghabiskan "jatah ngobrol"nya saja *loch..apa bedanya yak? wkwkwkw

Tapi percayalah, disaat wanita atau istri itu cerewet, itu tandanya dia peduli pada anda, itu artinya dia sayang sama anda. Meski terkadang, ia sering terlupa kalau suami tidak suka dinasehati. Bukan bermaksud menggurui ataupun tidak menghargai suami, namun itu hanya bentuk ekspresinya mengungkapkan kepeduliannya pada orang yang ia cintai.

Mengutip kata Bang Tere Liye "Bukan ketika diomeli, dimarahi, dan dicereweti itu yang menyakitkan, itu sih tandanya orang lain masih sayang. Yang lebih menyakitkan adalah, saat orang lain memutuskan sudah tidak peduli lagi, ditegur tidak, disapa juga tidak, didiamkan saja, dianggap tidak ada". 
Sungguh, hanya orang-orang yang peduli dan sayang pada kita yang berani bicara terus terang kepada kita, berani mengingatkan, berani meluruskan, meskipun sakit mendengarnya, tapi dia akan tetap ngomong demi kebaikan kita.

Karena itu duhai para suami, ketika istrimu masih bisa cerewet, maka bersyukurlah! Itu tandanya kau telah berhasil menjadi pendengar yang baik dan bisa menjadi tempat ternyaman baginya yang selalu siap menampung keluh kesahnya. Harusnya curigalah jika istrimu yang biasanya cerewet tiba-tiba memilih diam, cuek, tak acuh, bahkan tak ada lagi usaha untuk berbicara padamu, itu tandanya ia sudah menyerah dan putus asa. Mungkin lelah berbicara karena tidak digubris, mungkin merasa suaranya tidak didengar, terserah apapun yang dilakukan suaminya, karena baginya nasehatnya hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri saja, akhirnya memilih diam sebagai pembiaran. 

Jadi, para suami-suami, bapak-bapak, MENGERTILAH!
Cerewetnya istrimu adalah bentuk ekspresi cinta. Meskipun mungkin caranya kurang tepat, arahkanlah dia dengan cara yang ahsan (santun), jangan sampai membuatnya terluka. Karena wanita itu perasaannya sensitif dan peka. Disaat seorang wanita terluka, meskipun ia mudah memaafkan, tapi selamanya luka itu tidak akan ia lupakan.  

Monday, 3 April 2017

Benarkah Pernikahan Menciptakan Kebahagiaan?

Sebenarnya judul diatas karena saya lagi bingung pemirsah. 

Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (QS. Ar Ruum:21)

Seharusnya saya tidak perlu lagi menanyakan kebenaran firman Allah diatas. Pernikahan harusnya memberikan ketentraman dan kenyamanan bagi dua insan, ada yang melindungi dan ada yang dilindungi, ada yang memperhatikan dan ada yang diperhatikan, ada yang memahami dan ada yang dipahami, ada yang berbicara dan ada yang mendengarkan, sehingga dengan begitu muncullah rasa kasih dan sayang bagi keduanya.

Bukan saya ingin menanyakan kebenaran ayat diatas, karena saya paham kalau ada yang salah dengan pernikahan, bukan pernikahannya yang pantas kita salahkan namun karena oknum atau caranya yang belum benar menjalankan pernikahan tersebut.

Beberapa hari ini saya bingung dengan hati dan pemikiranku sendiri, hatiku bagaikan tempat tidur yang belum dirapikan, sedangkan isi kepalaku bagaikan benang kusut yang sulit diurai. Akhirnya saya coba menganalisis hatiku and what i feeling now. Sungguh, perasaan ini membuatku tidak nyaman.

Seperti ayat diatas, harusnya pernikahan memberikan rasa tentram dan nyaman bagi pelakunya, namun mengapa bagiku tidak belum yah? Nyatanya, bukan rasa nyaman dan ketentraman yang kurasakan, namun setelah menikah saya menjadi lebih sering stress, emosiku jadi sering labil, pikiranku sering direpoti dengan prasangka, hatiku jadi lebih melow, saya sering tiba-tiba bersedih bahkan tanpa alasanpun, dan sekarang saya susah berkonsentrasi dengan kerjaan, selain itu pernikahanku juga ternyata menjadi beban pikiran dikeluargaku karena pernikahan kami yang dipisahkan jarak.

Apa ini ya Allah?
Semoga ini hanya perasaan sesaat karena lelah saja!
Banyak orang mengatakan bahwa perempuan itu seperti cuaca, tidak terduga. Terkadang cerah, kadang mendung, kadang tenang, namun kadang juga bagai petir yang menggelegar. Dan ketika seorang suami mulai mengabaikan istri atau pasangannya, lambat laun wanita akan merasa tidak bahagia.

Saya bukan ingin mengatakan bahwa suamiku mengabaikanku, hanya saja mungkin dia tidak belum mengerti bagaimana memahami wanita. Dengan tuntutan kerja dan juga hubungan sosial, saya merasa kerapkali dia mengabaikanku sehingga membuatku merasa tidak dianggap. Dia bahkan bersikap biasa saja saat berhari-hari tidak menghubungiku.

Saya sadar perasaanku beberapa hari ini memang sangat labil, akibatnya semalam sayapun bersitegang dengan suami, dan akhirnya diapun kujadikan tumbal atas ketidakwarasan pikiran dan hatiku.

Sebenarnya saya bukan ingin menyalahkan suami atas ketidakberesan dan ketidak bahagiaan yang kurasakan, hanya saja dia sering melakukan sesuatu yang melanggar prinsipku yang akhirnya memicu konflik diantara kami.   
Sayapun tidak serta merta menyimpulkan bahwa saya tidak bahagia, karena itu saya berusaha mencari tahu alasannya agar bisa mengkondisikan hati. Akhirnya inilah kesimpulan yang kudapatkan akan perubahan sikapku akhir-akhir ini

1. Sering marah
Tidak ada satupun istri yang suka marah dengan suaminya apalagi jika harus berbicara banyak ketika mereka sedang marah. Sayapun tidak ingin sering marah, namun entah kenapa percakapannya sering menyulut emosiku, saya juga terkadang tidak sadar, semoga itu hanya karena emosiku labil saja. 

2. Selalu lelah
Sebuah studi UCLA menemukan bahwa wanita dalam pernikahan yang tidak bahagia memiliki kadar kortisol lebih tinggi yang menyebabkan mereka mudah lelah. 

3. Tidak terbuka
Ketika wanita tidak terbuka dan cenderung menyembunyikan masalahnya, padahal sebelumnya dia selalu terbuka tentang apapun, biasanya dia tidak bahagia. Saya bukannya tidak ingin terbuka, hanya saja dia tidak memberiku kesempatan berbicara, akibatnya masalah yang ingin kusampaikan kembali mengendap menjadi residu yang membebani pikiranku. 

4. Mulai berpikir untuk diri sendiri
Katanya wanita yang tidak bahagia akan menjadi egois dengan waktu, uang dan dengan emosinya. Terus terang akhir-akhir ini saya lebih sering berpikir untuk kehidupanku sendiri, tentang keuanganku, saya jadi tidak ingin terlalu bergantung kepadanya kalau masalah finansial, itulah mengapa akhir-akhir saya sering bersitegang dengan keluarga yang menyuruhku berhenti bekerja.

5. Menjadi pendengar yang buruk
Setiap istri pastilah berharap agar suaminya bisa menjadi pendengar yang baik untuk mencurahkan segala keluh kesahnya, berharap suami bisa menyiapkan pundak dan sandaran yang kokoh untuk menyimak tangisnya. Namun saya merasa suamiku tidak bisa mengambil peran tersebut, akibatnya saya menjadi lebih sering galau karena isi hati yang mengendam tak tersampaikan.

6.  Kurang kedekatan
Kedekatan tidak harus selalu bersama dan berdua dimana-mana, namun kedekatan komunikasipun harusnya selalu dibangun. Namun dia begitu menganggap enteng tidak menghubungiku berhari-hari, padahal dari komunikasi yang baiklah kedekatan bisa terjalin. Bukannya saya tidak ingin menghubungi duluan, hanya saja saya ingin melihat bagaimana usahanya dan perasaannya padaku ketika jauh, karena rasa itu akan mempengaruhi sikap. 

7. Pengelolaan keuangan yang salah 
Harusnya masalah finansial bukanlah masalah yang krusial yang harus kutakuti, namun suami yang boros dan sering bergaya hidup "high" membuatku tidak nyaman, padahal saya hanya ingin pemasukan kami disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan

Beberapa alasan diataslah yang kerapkali membuatku kecewa dan putus asa. Saya sadar kalau saya terjebak dalam keadaan yang membatasi, rutinitas pekerjaan, jarak yang menjadi orang ketiga diantara kami, masalah finansial dll. Karena itu terkadang pernikahanku serasa hambar, padahal cintalah yang memberikan energi dahsyat untuk mengembangkan dan menyempurnakan kepribadian pasangan suami istri agar selalu bersama. Cintalah yang akan membuang semua rintangan yang muncul dalam setiap perjalanan rumah tangga. 

" Tidak ada pernikahan yang bahagia tanpa pengorbanan yang tidak pernah berhenti"

Entah Apa Yang Merasukimu Bu Sukma

Setelah membandingkan konde dengan cadar, suara kidung dengan azan, sekarang Bu Sukma kumat lagi dengan membandingkan Nabi Muhammad denga...