Jujur, saya tidak pernah membayangkan bakalan menjalani LDR pasca menikah. It’s not my wedding dream. Dalam benakku pernikahan impian adalah yang sehari-hari bisa bersama pasangannya. Bangun tidur, ada pasangan disisi, membangunkan anak-anak untuk shalat subuh berjamaah, bisa menyiapkan sarapan untuk keluarga sebelum berangkat kerja, serta menyambut suami saat pulang kantor dengan senyuman. Yah..Mungkin terdengar sangat klasik, bahkan kebiasaan ini bisa jadi membosankan dan monoton sebagaimana orang kebanyakan, namun setidaknya dengan begitu lebih dapat menjalin ikatan kebersamaan dan ikatan emotional antar anggota keluarga.

Bagaimana rasanya berpisah sementara waktu?

Bagaimana rasanya berpisah sementara waktu?
Karena itu saat temanku bertanya bagaimana rasanya berpisah sementara waktu dengan suami? Saya berulang kali mengulang pertanyaan ini hingga hampir terdengar basi. Yang ku rasakan, jarak adalah nestapa bagi dua orang yang tengah menemukan kenyamanan satu sama lain. Yang ku rasakan, berpisah adalah rentan hubungan yang makin rapuh. Dan yang ku rasakan, jauh adalah waktu yang harus sama-sama kita sepakati.
Apakah memang kita sudah ditakdirkan Tuhan bakal menjalani hubungan pernikahan dengan jarak sebagai ujiannya? Sampai kapan jarak menjadi orang ketiga diantara kita?
Berpisah sementara waktu? Kemudian yang tersisa adalah rindu atau lupa dari berbagai macam jenisnya.
Karena itu saat memutuskan menerima pinangan suami yang itu artinya saya harus siap ditinggal dan menjalani LDR sebagai konsekuensi bersuamikan orang proyek (migas), saya sempat meragu. Lama ku menimbang-nimbang keputusanku sebelum akhirnya memutuskan menikah dengan orang migas, karena yah itu tadi saya tidak mau di tinggal-tinggal setelah menikah.
Banyak orang yang ingin bersuamikan orang migas atau orang tambang karena katanya ‘penghasilannya besar’, tapi kenapa bagiku tidak yah? Malah justru dulu saya memimpikan punya suami seorang ustadz ataupun PNS saja yang meskipun penghasilannya tidak seberapa, yang penting bisa selalu bersama suami. Kalaupun harus ditinggal karena dinas, itu hanya sementara waktu, beda dengan di tinggal suami yang orang tambang dan orang migas yang memang kerjaannya harus jauh dari keluarga. Namun Qadarullah, ternyata saya di takdirkan Allah bersuamikan orang migas, yang itu artinya saya juga harus siap menerima takdirnya yang bakalan sering-sering di tinggal karena kerjaan, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka.
Beberapa tahun bekerja di tambang dan proyek dimana teman-temanku semua juga menjalani LDR dengan pasangannya, sehingga sudah bisa memberikan pelajaran dan pengalaman bagiku betapa hubungan berjarak banyak menimbulkan ujian. Bukan hanya berupa ujian eksternal seperti orang ketiga misalnya, namun juga ujian internal seperti egosentris dari diri kita sendiri. Bahkan tidak jarang banyak pejuang LDR an yang merasa tidak sanggup bertahan dengan gelombang ujian jarak dan waktu yang semakin mengikis perasaan mereka terhadap pasangannya. Akhirnya ada yang memilih bercerai lalu nikah lagi, ada pula yang memilih terpaksa melanjutkan pernikahannya tapi dihatinya sudah ada kekasih idaman lain yang ditemuinya di lokasi tempat kerjanya.
Itulah mengapa saya menjadi ragu. Bukan..bukan meragukan dia tidak bisa menjadi suami yang baik, ataupun ragu dia bakalan tertarik dengan ‘wanita lain’, namun saya meragukan diriku sendiri yang bakalan tidak sanggup menjalani hubungan berjarak.
Yang kutahu, jarak itu menyebabkan 2 hal; RINDU atau LUPA. Kalaulah dengan berjarak kita selalu saling merindu maka masih sehatlah hubungan kita. Namun bagaimana jika jarak membuat kita lupa satu sama lain? Terlalu sibuk dengan urusan sendiri-sendiri membuat kita pelan-pelan saling melupakan tanpa kita sadari? Ahh..membayangkannya saja bahkan saya tidak berani ?.
Saya hanyalah wanita yang masih sangat dominan perasaannya. Mungkin orang bilang saya kolot, mungkin benar saya kolot karena terlalu takut jarak ini mampu mengikis sedikit demi sedikit cinta yang telah terbangun pasca pernikahan. Saya hanya takut kita menjadi akrab dan terbiasa dengan berjarak, sehingga kehadiran pasangan bukan lagi menjadi kebutuhan yang selalu di damba.
Awal-awal berjarak pasca menikah, komunikasi kami masih sehat (maklum lah yah..pengantin baru yang baru berpisah
), bahkan bisa dibilang sampai kurang kerjaan, ngomong sampai gak kenal waktu, serta WA ku pun tiap detik muncul pesanmu, dari membahas masalah penting hingga chat hal-hal yang tidak penting lainnya. Namun semakin lama, kekhawatiranku nampaknya mulai kelihatan dengan intensitas berkomunikasi kita yang mulai berkurang, bahkan WA pun hanya tinggal sekedarnya saja, tidak ada lagi chat basa basi seperti sebelumnya.
Entahlah, saya tidak mengerti apa yang terjadi dengan hubungan kita yang mulai terasa hambar. Apakah karena keterikatan hati yang masih rapuh? Ikatan emotional yang belum kuat? Kesibukan dan pekerjaan yang berhasil menjadi orang ketiga yang merenggangkan hubungan kita? Atau kita sama-sama tidak merasa ada yang kurang atau ada yang hilang saat kita tidak berkomunikasi?

Entahlah, saya tidak mengerti apa yang terjadi dengan hubungan kita yang mulai terasa hambar. Apakah karena keterikatan hati yang masih rapuh? Ikatan emotional yang belum kuat? Kesibukan dan pekerjaan yang berhasil menjadi orang ketiga yang merenggangkan hubungan kita? Atau kita sama-sama tidak merasa ada yang kurang atau ada yang hilang saat kita tidak berkomunikasi?
Terkadang saya iri dengan bapak-bapak disini yang meskipun sudah puluhan tahun menikah, bahkan sudah bercucu, tapi masih begitu mesra dengan istrinya. Tiap saat berkomunikasi, siang dan malam, bahkan paketan telponnya kadang tidak mencukupi saat menghabiskan waktu mendengar suara istrinya. Pengen rasanya kita seperti itu juga, seperti dulu saat awal-awal berjarak.
Saya takut..sungguh sangat takut..jika sekarang saja kita sudah sok sibuk seperti ini, saya takut membayangkan bagaimana nanti setelah bertahun-tahun menikah!
Jarak..ohh..jarak..Apakah yang jauh harus selalu kita? Kemudian rindu jadi semacam tendensi yang membuat kita terserang virus aneh bernama ‘lemah’. Lalu apakah jauh yang kita maksud adalah semacam konspirasi agar kita saling menyepakati waktu? Entahlah..saya juga sedang belajar untuk bisa jauh yang menenangkan.
Tapi saya selalu berharap semoga hubungan berjarak yang kita sama-sama sepakati sekarang ini karena ada hal-hal yang belum memungkinkan kita agar bisa kembali bersama dapat segera berakhir dan kita bisa berkumpul kembali seperti layaknya pasangan pada umumnya dan semoga meskipun sekarang kita dipisahkan oleh jarak tapi komunikasi kita sehat setiap harinya. Mari kita sama-sama belajar sebagai pasangan yang baru mencoba mengerti menyelami hati dan perasaan pasangannya.
Semoga Allah senantiasa mendengar doa-doa kita. Amien
Tapi saya selalu berharap semoga hubungan berjarak yang kita sama-sama sepakati sekarang ini karena ada hal-hal yang belum memungkinkan kita agar bisa kembali bersama dapat segera berakhir dan kita bisa berkumpul kembali seperti layaknya pasangan pada umumnya dan semoga meskipun sekarang kita dipisahkan oleh jarak tapi komunikasi kita sehat setiap harinya. Mari kita sama-sama belajar sebagai pasangan yang baru mencoba mengerti menyelami hati dan perasaan pasangannya.
Semoga Allah senantiasa mendengar doa-doa kita. Amien
No comments:
Post a Comment