Sunday, 29 January 2017

Di KMO Kami Bertemu

Pertama kali kenal mereka di Komunitas Menulis Online. Berawal dari hobi yang sama akhirnya kami bertemu di kelas menulis. Kak Indah Tinumbia dan kak Titi Nurmala Kekenusa adalah seniorku didunia literasi, saat saya masih nyubi mereka sudah jadi PJ grup. Anehnya, mereka bukan PJ grupku, tapi malah lebih akrab daripada PJ grupku sendiri hehe.
Lama ngobrol-ngobrol eeh..ternyata kami sama-sama penghuni Bolaang Mongondow. Bedanya, mereka asli Sulut, saya hanya perantau yang numpang mencari hidup disini, mereka tinggalnya masih ditengah kota, sedangkan saya di sudut terpencil Sulut. Meskipun begitu, tidak menghalangi kita untuk bisa bertemu. Akhirnya disusunlah rencana buat kopdaran, tapi selalu gatot pemirsah. Setelah sekian lama, akhirnya hari ini kesampaian juga bertemu dua wanita cantik nan hebat ini ðŸ˜˜
Kak Indah dengan segala keterbatasannya sebagai penyandang disabilitas berhasil membuktikan kalau kelemahan kita bukanlah halangan untuk bisa berkarya. Hari ini saya banyak belajar dari beliau. Terus terang tadi sempat speachless saat tahu kak indah hanya bisa beraktifitas di tempat tidur doang, namun tidak mengurangi semangatnya dalam menulis meskipun hanya bermodalkan hp jadul, tidak pernah sekolah formal namun bisa baca tulis secara otodidak, begitupun semangatnya dalam mengaji yang meskipun terbata-bata melafadzkan huruf hijaiyah, tidak membuatnya patah semangat. Masya Allah, semoga kedepannya bisa khatam Al Qur’an yah kak. Proud of you ðŸ˜‰
Kemudian ada lagi kak Titi dengan seabrek aktifitasnya yang super duepeerr sibuk, jadi wanita karir iya, aktif di komunitas dan majelis ilmu juga, jadi guru ngaji juga, jadi editor tulisan juga, dan yang paling cetar tentunya jadi emak-emak muda yang super energik. Semoga Allah selalu membersamai dalam segala aktifitasnya yah kak. Amin.
Makaseh neh for ngoni dua, so mau baku dapa akang dang. For kak Titi makaseh so mau menampung diriku di kak titi pe rumah, makaseh juga so jadi tamang terkeche yang telah menemaniku semalam menghabiskan malam mingguan sebagai pejuang LDR an hahaha
For kak Indah makaseh for depe hadiah buku karyanya, aish..jadi malu dang kita yang belum pernah menerbitkan buku, kong kak Indah so mulai ngubek-ngubek naskah for novel yang kedua ley, sukses terus ya kak. Good luck. Semoga semua impiannya bisa tercapai. Amien.
The last, terima kasih yang tak terhingga buat KMO yang telah mempertemukan kami sehingga silaturahmi bisa terjalin seperti ini. Alhamdulilah ðŸ˜˜.
Eeh..ini gak janjian loh, kok bisa kompakan gini yah warna jilbabnya?😂

Dariku
Seorang adik yang merasa bahagia karena diijinkan waktu untuk mengenal dan bersama kalian.

Thursday, 19 January 2017

Menanti Dua Garis

Setiap pasangan yang telah menikah pastilah mendambakan hadirnya buah hati untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Kata orang, wanita baru dikatakan menjadi wanita sempurna jika telah melewati fase hamil, melahirkan dan akhirnya mempunyai baby. 
Sebenarnya saya kurang begitu setuju jika dikatakan demikian! Lantas, apakah wanita yang diuji tanpa kehadiran buah hati tidak pantas disebut wanita sempurna? Apalagi jika dia sudah berikhtiar dan berusaha semampunya, tapi Allah masih belum berkehendak menitipkan amanahNya. Bukankah ibunda kita Aisyah juga diuji tanpa kehadiran buah hati selama pernikahannya dengan Rasulullah? Lantas, apakah beliau tidak pantas disebut wanita sempurna hanya karena tidak melahirkan seorang bayi? Padahal beliau adalah salah satu wanita panutan yang dijamin surga.

Menurut saya, sempurnanya seorang wanita bukanlah ditentukan dengan menikah, hamil ataupun punya anak, karena siapa tahu jika di dunia mereka tidak ditakdirkan bertemu jodoh atau mempunyai anak, bisa jadi jodoh dan anak terbaik sudah disiapkan Allah yang akan menanti mereka di surga kelak.  

Cobalah bertanya kepada pasangan yang telah menikah, baik yang sudah lama ataupun yang baru menikah, pertanyaan “kapan punya anak” atau “sudah isi belum?” adalah pertanyaan yang paling sering ditanyakan orang. Padahal sama seperti halnya jodoh, anakpun adalah rezeki yang diberikan olehNya. Pada akhirnya Dia juga yang lebih tahu kapan waktu yang tepat untuk menitipkan amanah pada rahim seorang wanita. Tidak berhaklah kita menghakimi orang yang belum menikah atau yang belum mempunyai anak, toh kita juga tidak tahu apakah mereka sudah berikhtiar atau belum kan?

Saya ingat ada teman yang sebelum menikah menanyakan kepada calon suaminya perihal anak dan menanyakan pendapatnya bagaimana jika mereka diuji sama Allah dengan ketiadaan anak dalam pernikahannya? Hmm..Sebagai wanita saya mengerti apa yang dikhawatirkannya, apalagi saya tahu banyak pasangan yang terpaksa memilih berpisah setelah mengetahui pasangannya tidak bisa memberikan keturunan. Karena bagi sebagian orang keberadaan anak mungkin adalah hal mutlak yang harus terpenuhi pada pernikahannya, itulah mengapa banyak pasangan yang melakukan berbagai upaya untuk memperoleh keturunan, bahkan tidak jarang banyak yang memakai bantuan bayi tabung yang biayanya lumayan mahal.    
  
Lantas bagaimana denganku? Apakah sekarang saya juga berharap Allah segera menitipkan amanah dirahimku sebagai pelengkap pernikahan kami? Entahlah, sebenarnya itu bukanlah pertanyaan sulit, apalagi saya tahu suami juga sudah sangat mendambakan hadirnya buah hati. Dalam palung hati yang terdalam sebenarnya diri inipun sudah begitu mendamba lahirnya calon mujahid/mujahidah dari rahimku. Bukankah anak itu investasi akhirat? Tentulah sebagian besar suami istri tak terkecuali kami juga sudah sangat ingin berinvestasi akhirat dengan hadirnya buah hati penerus perjuangan kami.

But..Wait..Jika saja dalam kondisi normal tentulah sangat kusyukuri jika Allah segera menitipkan benih manusia di rahimku. Bukan..bukannya sekarang kondisiku abnormal, hanya saja sekarang saya jauh dari keluarga, tidak ada seorangpun menemaniku disini, ditambah pekerjaan yang bertambah selepas menikah, belum lagi intensitas bertemu dengan suami yang terbatas membuatku dilanda berbagai kekhawatiran. Tiba-tiba saya takut jika harus hamil dalam kondisi tertekan seperti ini. Masih hangat dalam ingatan, istri dari temanku yang beberapa kali harus opname di Rumah Sakit saat hamilnya karena tidak bisa makan, sehingga tidak ada nutrisi yang masuk untuk si jabang bayi, ada lagi temanku yang selama hamil bawaannya pengen tidur aja, lemas dan malas gak bisa ngapa-ngapain, tiap saat mual terus, belum lagi ada sepupu yang sudah beberapa kali keguguran karena kecapean bekerja sehingga mengharuskannya beberapa kali dikuret. Wajarlah jika tiba-tiba saya dilanda insecure dan khawatir jika pada akhirnya saya harus menjalani masa-masa kehamilan seorang diri. 

Oh..God..Maaf..bukannya saya ingin bersuudzon kepadaMu, hanya saja saya hanyalah wanita biasa yang lemah, saya takut jika nantinya masa-masa kehamilan yang akan kulewati bakalan seperti itu juga, meskipun saya tahu kalau Allah pasti akan selalu membersamaiku. Hanya saja..diri ini begitu takutnya, maafkan diriku yang begitu parno sekarang . Yah..mungkin mental dan psikologisku saja yang harus lebih kusiapkan.

Karena itu, ketika tadi pagi saya masih haid, harus kuakui kalau saya bersyukur karena belum hamil sekarang, setidaknya saya masih punya kesempatan lagi mempersiapkan mental agar lebih siap, meskipun mungkin suami sedikit kecewa. Mungkin Allah mendengar kekhawatiranku kemarin-kemarin, jadi memandangku belum siap, bukankah Dia sesuai persangkaan hambaNya? Karena itu, sekarang saya hanya ingin memohon kepadaNya agar diberikan kesiapan mental dalam menghadapi moment ini nantinya dan semoga Dia senantiasa menjagaku disaat penjagaaan keluargaku dan suamiku tidak sampai kepadaku.

Pada akhirnya, Allah juga yang tahu kapan waktu yang tepat untuk kami mempunyai anak, sehingga ketika saat itu datang, saya sudah siap menyambut setiap moment dan masa-masa itu dengan senyum ceria selayaknya wanita hamil lainnya, tanpa kekhawatiran lagi.

Tuesday, 17 January 2017

Mengapa Saya Menulis?

Mengapa saya menulis adalah tema tulisan pertama saat mengikuti Kelas Menulis Online. Jujur, sebenarnya saya tidak pernah bercita-cita menjadi penulis. Selain karena saya bukan penikmat dunia sastra, juga saya tahu masyarakat Indonesia pada umumnya malas membaca. Karena itu apresiasi terhadap penulis masih sangat kurang. Betapa banyak buku-buku terbitan karya anak negeri yang terlantar ditoko buku karena kesulitan menemukan pembacanya, sehingga banyak penulis-penulis berbakat yang menjadikan menulis hanya sebagai aktifitas sambilan, karena mereka berfikir penulis belum bisa dijadikan profesi untuk menopang hidup keluarganya (Baca juga: Menulis Untuk Apa)

Menulispun tergolong hobi baru buat saya, dan mungkin hobi ini bisa dibilang muncul tiba-tiba dan sangat kebetulan. Kalau saya ditanya sejak kapan suka menulis? Sayapun tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Tanyalah sama teman-teman sekolahku dulu, mereka tahu bagaimana saya dulu yang ketika ada tugas mengarang dan menulis dari guru bahasa indonesia, satu halaman saja rasa-rasanya sudah sulit sekali untuk menyelesaikannya, bahkan hingga tujuh purnamapun rasa-rasanya tulisan itu belum kelar-kelar juga. 

      Yang bisa kutebak dan kuprediksi adalah mungkin karena sekarang saya begitu menyukai dunia literasi, senang membaca untuk mengisi waktu luang sehingga perbendaharaan kataku semakin bertambah, serta suka sekali berinvestasi dengan mengoleksi buku, bahkan sudah kuniatkan bahwa dalam sebulan harus ada budget penghasilanku yang kualokasikan untuk berinvestasi ilmu dan pengetahuan dengan membeli buku. Sehingga dengan semakin seringnya membaca, sedikit banyak otak akan terlatih dengan sendirinya mengolah kata dan akhirnya jadi terbiasa merangkainya dalam kalimat. Atau mungkin juga karena sekarang saya suka berkhayal dan berimajinasi sendiri. Mungkin benar kata orang kalau penulis itu adalah pengkhayal yang baik. Yah.,mungkin tiap-tiap penulis punya dunia khayal dan teman khayalan sendiri. Sepi ditempat yang ramai, dan ketika ditempat sepi menjadi ramai sendiri. Begituah saya sekarang. Jika ada yang dinamakan teman dunia khayal mungkin sekarang saya memilikinya (iih...seyeeem yah..hehe) 

 Saya paham kalau menulis itu bukan bakat yang dibawa dari lahir. Tidak ada manusia yang sejak lahir telah dianugerahi bakat menulis. Kamu tahu kenapa? Yah..karena menulis itu bakat yang datang karena adanya usaha dan latihan yang terus-menerus. Karena itu, kamu jangan harap bisa menulis kalau kamu malas latihan dan malas membaca, karena menulis tanpa latihan dan membaca is bullshit.

MENULISLAH!!!
Setidaknya ada lima kalimat inspiratif yang menjadi awal mula saya menulis;
  • "Jika engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka menulislah." (Imam al Ghazali)
  • "Semua penulis akan mati. Hanya karyanya yang akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakanmu di akhirat nanti."(Ali bin Abi Thalib)
  • "Bila ada sebuah buku yang ingin kau baca, tapi buku itu belum lagi ditulis maka engkaulah yang mesti menuliskanya."(Tony Morrison)
  • "Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, sampai jauh di kemudian hari."(Pramoedya A Toer)
  •  "Jika tak ada mesin ketik, aku akan menulis dengan tangan. Jika tak ada tinta hitam aku akan menulis dengan arang. Jika tak ada kertas, aku akan menulis pada dinding. Jika aku dilarang menulis, aku akan menulis dengan tetes darah (Puisi Widji Tukul)
Bermula dari kalimat-kalimat itulah saya mulai berinisiatif dan termotivasi untuk mulai menajamkan pena, merangkai kata demi kata yang mungkin masih bermakna dangkal, dan mencoba menaburkan diksi disetiap kata yang terserak dalam tulisan. Yah, saya tidak peduli meskipun tulisanku tidak seanggun Gibran, atau tidak secantik Hamka, pun tidak sekeren Rumi. Seabsurd apa pun cerita yang tertuang dari ide di kepala, selain sebagai hiburan, tentunya akan sangat berfaedah jika ditaburi juga ilmu dan hikmah bagi yang membaca, karena itu saya berusaha selalu memberikan hikmah disetiap tulisanku. 
Ada beberapa alasan yang menjadi pemicu dan tambah menyemangatiku untuk lebih meningkatkan kemampuan menulisku. Well, This is it, Cekidot yah ^^

     1.  Menulis adalah Cara Menjemput Kebahagiaan

Saya percaya kalau orang akan bahagia jika mengerjakan hal-hal yang disukainya. Bahkan ketika kita mencari pekerjaan, carilah pekerjaan yang bukan hanya memenuhi kebutuhanmu tapi juga yang akan membahagiakanmu. Yang membahagiakan itu yang bagaimana sih? Tentunya adalah pekerjaan yang kita dengan senang hati melakukannya, bahkan kita bersedia sukarela mengerjakannya meskipun tanpa digaji, apalagi jika kita menyalurkan hobi disertai juga dengan memperoleh penghasilan, sungguh berlipat kepuasan dihati. Saya yakin seenak-enaknya pekerjaan adalah yang sesuai passion, karena itu dengan menulis saya percaya bisa memberikan kebahagiaan bagi saya. Karena tidak ada cara lain bagi seorang penulis selain membuat tulisan.
     
2. Menulis adalah Cara Menyalurkan Beban Pikiran
Dalam hidup, selalu saja ada hal-hal yang tak mudah untuk dikatakan. Setiap kali ingin mengutarakan, tiba-tiba lidah menjadi kelu, mulut gagap entah karena apa. Akhirnya, kata-kata yang sudah disiapkan sebaik mungkin itu kembali mengendap, mencipta residu yang terus mengganjal dalam hati. Karena memang, ada perasaan yang lebih mudah dituangkan kedalam bentuk tulisan daripada diungkapkan, maka biarlah aksara menjadi utusan dari segala asa, rasa, dan juga cinta. 

Terus terang saya orangnya kurang bisa terbuka sama orang lain, apalagi untuk mengungkapkan masalah dan perasaanku kepada mereka, bahkan sama suami dan sahabatpun terkadang ada sesuatu yang lebih enak saya tuliskan daripada share with them. Beberapa teman sering menjadikan saya tempat curhat mereka, mungkin mereka menganggap saya enak dijadikan tempat curhat dan kadang mereka puas dengan solusi-solusi yang kuberikan padanya. But..not for me, saya tidak bisa bebas mengungkapkan perasaanku kepada mereka. Oleh karena itu, menulis adalah satu-satunya caraku melampiaskan dan menyampaikan perasaan serta isi hatiku. Dengan menulis saya bisa berekspresi semauku, dengan bahasa sesukaku, tanpa takut akan komentar orang lain, tanpa takut menyinggung orang lain. Dan lebih dari itu, saya merasa lebih bisa terbuka menyalurkan beban yang ada dikepala meskipun lewat tulisan. 

Saya tahu tiap-tiap penulis memiliki isi kepala yang berbeda-beda dan kadang akan menjadi beban tersendiri jika tidak disalurkan. Karena itu, jika  saya mulai stress dan banyak pikiran, menulis adalah metode therapy yang sering saya pilih untuk menyalurkan beban pikiran, hingga semua beban di kepala bisa tersalurkan sehingga perasaan bisa kembali nyaman. Karena dengan menulis, bisa mengikis residu yang mengganjal di hati, mengutarakan apa yang seharusnya diutarakan, dan menyurat apa yang selama ini tersirat dalam bisu.

 3. Menulis Adalah Cara Meninggalkan Jejak Lain Selain di Batu Nisan
Kata orang bijak “Dengan menulis kamu akan dikenang”. Qullu Nafsin Zaiqotul Maut (Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati), maka tak terkecuali dengan manusia. Siapapun tahu kalau tiap-tiap kita sudah dijatah umurnya sama Sang Pemilik Kehidupan, bahkan tidak akan maju atau mundur sedetikpun. Karena itu semua yang ada sama kita akan terkubur seiring terkuburnya jasad, hanya amal dan karya kita yang akan abadi. Kata Bang Rhoma Irama “Eksistensi itu adalah karya, bukan bicara”. Maka menulislah, agar kau meninggalkan jejak, sehingga orang akan mengakui eksistensimu"

Yah..eksistensi adalah salah satu kebutuhan hidup manusia. Eksitensi tidak harus menjadi terkenal dulu ataupun menjadi orang disegani, tapi bagaimana caranya agar orang lain bisa merasakan manfaat dari keberadaan kita didunia meskipun kita sudah tiada. Minimal dengan kita menulis, kita memiliki tulisan yang bisa meninggalkan jejak dan menjadi bukti kalau kita pernah hadir didunia. So, that's why, tulislah sesuatu yang akan membahagiakanmu di akhirat nantinya.

4. Menulis Adalah Cara Menasehati Diri Sendiri

Kata pepatah Semut diujung lautan nampak, namun gajah di pelupuk mata tidak tampak”. Mungkin kita sudah sering mendengar pepatah ini yang artinya kesalahan kita sendiri tidak kita sadari, namun kesalahan orang lain sangat mudah kita lihat. Berawal dari pepatah itulah saya berusaha sering-sering intropeksi dan menasehati diri sendiri bahwa yang kita perlukan itu adalah cermin untuk melihat aib sendiri, bukan kaca pembesar untuk melihat kesalahan orang lain. Nah, dengan menulis saya merasa bisa bebas menasehati diriku sendiri, saya bebas memaki-maki diriku sendiri lewat tulisanku. Begitupun jika saya memotivasi orang lain lewat tulisan-tulisanku, sesungguhnya itu hanyalah caraku untuk menasehati diriku sendiri juga. Karena terus terang, saya belum mempunyai ilmu yang mumpuni untuk menasehati orang lain (Lhaa..siapa pula saya kan? Ilmu agama masih cetak sekali, mau sok-sokan menasehati orang lain). Karena itulah karena merasa diri ini belum ada apa-apanya dan masih perlu banyak belajar lagi, saya merasa harus menyampaikan sekecil apapun ilmu. Karena itu saya menulis (toh tidak harus menjadi ustadzah dulu kan untuk bisa menyampaikan ilmu dan berbagi?). Sehingga dengan memotivasi orang lain, secara tidak langsung juga memotivasi diri sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.   

5. Menulis Adalah Cara Untuk Mengabadikan Setiap Moment Dalam Kehidupan

Ada banyak cara seseorang dalam mengabadikan setiap kejadian dalam hidupnya. Ada yang menggunakan kamera dan foto, ada yang menggunakan video, dan ada juga yang menggunakan tulisan untuk menceritakan kisah hidupnya. Semuanya bisa saja dilakukan sebagai pengingat bahwa kita pernah eksis di hari yang lalu. Kau tahu, manusia tidak diberi spasi mengingat yang banyak, maka otomatis mereka memilah apa-apa yang ingin mereka simpan, dan apa-apa yang mereka ingin lupakan. Karena itu saya ingin mengabadikan setiap moment dalam hidupku dan orang-orang yang kusayang disekitarku lewat tulisan. Agar suatu hari nanti, saat saya tak sanggup mengingat lagi, saya atau mereka tetap mengabadi. Mengabadi dalam tulisanku dan mengabadi dalam kisahku. Karena dengan menulis suara kita tidak akan ditelan angin. Saya ingin meskipun telah tiada nantinya, mereka tetap mengenangku lewat tulisan-tulisanku.

Menulis itu tidak jauh berbeda dengan berkata-kata. Pernah dengar kalimat, "Mulutmu harimaumu"? Apa yang keluar dari mulut tidak akan jauh beda dengan apa yang ada di dalam hati dan pikiran. Jadi wajar saja jika kadang terjadi perdebatan bahkan permusuhan akibat dari kata-kata yang keluar dari mulut seseorang. Perkara hati dan pikiran memang menjadi perkara yang sensitif, menulispun juga sama. Apa yang tertulis sejatinya adalah apa yang dipikirkan seseorang. Jadi wajar saja jika hanya karena sebuah tulisan bisa menimbulkan pro dan kontra.

Allah itu tidak hanya Maha Mendengar, Dia juga Maha Melihat. Jadi tulisan pun tak lepas dari Kuasa-Nya. Tidak hanya manusia yang menilai sebuah tulisan, Allah pun juga akan menilai. Jadi, salah-benar atau baik-buruk penilaian manusia tidak akan sebanding dengan penilaian Sang Maha Penilai.

Jadi, banyaknya Like, komentar dan apalah-apalah itu belum tentu menjadi indikator bahwa tulisan tersebut mendapat nilai MEMUASKAN dari Gusti Allah.
Menulislah Terus! Menajamkan pena dengan mengasah kemampuan menulis tanpa bosan, dan tidak lupa pula menunjangnya dengan doa, memohon ilham yang baik kepada Allah agar senantiasa kepala dipenuhi ide-ide cemerlang lagi bermanfaat. Menulis kebaikan menurut Sang Pemilik Keindahan.

“Allahumma alhimnii rusydii wa aidznii min syarri mafsii” (Ya Allah, semoga Engkau memberiku ilham yang benar dan melindungiku dari kejelekan diriku). Jadi, saat diri hendak berbuat keburukan, Allah telah mencegahnya. Sehingga kegiatan tulis-menulispun akhirnya menjadi bagian dari ibadah, karena kita telah meminta keridhoan-Nya melalui panjatan doa.
     "Allahmumma alhimnii rusydii wa aidznii min syarri nafsii (Ya Allah, semoga Engkau memberiku ilham yang benar dan melindungiku dari kejelekan diriku, saat diri hendak berbuat kejelekan, Allah telah mencegahnya)." HR.At Tirmidzi. Abwaabudduaa'
           
        Jadi, saat diri hendak berbuat keburukan, Allah telah mencegahnya, sehingga kegiatan tulis-menulis pun akhirnya menjadi bagian dari ibadah, karena kita telah meminta keridhoan-NYA melalui panjatan doa.

"Adduaa'u mukhul 'ibaadati." (R. At Tirmidzi).

Tuesday, 10 January 2017

One Month Wedding Anniversary

"Bagaimana rasanya sebulan menikah?", akhirnya pertanyaan ini mampir juga dibenakku. 

Ahh., hampir saja saya melupakannya, jika saja kau tidak mengingatkanku lewat video itu. Ternyata sudah sebulan berlalu sejak hari itu, saat irkar itu kau ucap. Hari ini tepat sebulan kita menikah. Entahlah, sebenarnya saya sudah tidak punya kata-kata sekarang. Karena telah habis kusemai dalam indah kisah berdua. Bersama-sama berusaha saling memahami, melengkapi dan mengingatkan dalam kebaikan. Kekataku habis sekarang. Bolehkah kuungkapkan segala rasa dengan diam?"


Flash back sebulan yang lalu, betapa tanganku bergetar ketika pertama kali kucium tanganmu. Pun begitu saat pertama kali kau cium keningku, Ahh..saya merasakan getar-getar cinta itu semakin tumbuh hebat, kuat dan mengakar hingga ke akarnya. 


Begitulah sejatinya cinta. Ia akan menjaga sepenuh jiwa dan raga. Begitulah harusnya cinta, ia akan bermula tumbuh meski dedaunan telah sepuh menua. 

Jika dahulu, kekata cinta tertanam pada kisah-kisah romansa, kini kekata cinta itu telah boleh diungkap pada pasangan halal. 

"Saya terima nikahnya Trisna Fadliyah binti..... dengan .... TUNAI." 
Kemudian para saksi berucap sah. Tetamu hadirin pun bergemuruh riuh rendah

"Alhamdulillah.. Alhamdulillah.. Cepat dan Jelas.. Subhanallah..

Did You Know Dear..???

Di detik itu, dunia terasa tak ada lagi bumi dan langitnya. Lidahku terlafal istighfar sepanjang tarikan nafas yang kupunya. Juga tasbih, tahmid dan segala ungkapan lainnya. Ketika itu, aku telah sah menyandang status sebagai istrimu. Belahan jiwamu. Penyejuk batinmu. Penenang hatimu. Semoga, selalu dan selamanya hingga maut memisahkan kita, begitu azzamku. 

Did You Know Dear..???

Betapa gugupnya saya pada saat itu. Ketika semua mata memandang padaku. Ketika semua doa menghujani kita. Semoga doa-doa yang mereka panjatkan dapat menjadi jalan agar kita lebih mendekat kepadaNya. Amien.


Jika hari ini kita ditakdirkan berjarak, percayalah seberapapun kaki jauh melangkah, seberapapun jarak menjadi pemisah, jika kita ditakdirkan bersatu maka "Jadilah" seperti "Kun" firman-Nya, sebuah janjiNya. Jarak memang mampu menjauhkan raga, namun tidak dengan cinta, karena ia mampu memangkas jarak tak terhingga seolah sedang berada dipelupuk mata.

Marilah kita sama-sama merawat dan memelihara rindu dalam sembunyi, yakinlah kalau setiap rindu pasti akan ada saatnya terbayar.

Udah dulu yah dear, takutnya tulisan ini akan semakin melow jika diteruskan hiks. Saat ini yang kubisa hanya merindumu dalam doa, semoga kamu selalu dalam penjagaanNya. Amin. Miss you ❤.

Dariku
Istrimu yang tertawan rindunya.

Monday, 9 January 2017

About Me Versi Narasi

Ada sebuah peribahasa yang mengatakan bahwa “Tak kenal maka tak sayang”, karena itulah ijinkan aku memperkenalkan diri dengan berta’aruf.

Menurut data terbaru, saat ini penduduk dunia berkisar 6,5 miliar, apakah mereka semua kenal denganku? (whaat? pede bangets, emang siapa elo) hahaha. Jawabnya tentu tidak! Berawal dari alasan itulah maka aku akan memperkenalkan diri pada dunia, siapa tahu dari blog ini bisa menambah pertemanan dan menjalin silaturahmi, karena banyak teman banyak rezki kan?

Semalam aku mengikuti kelas literasi di grup whatsapp. Dalam kelas tersebut, kita diminta memperkenalkan diri dengan bernarasi. Tadinya, aku belum ngeh maksudnya, namun setelah membaca profil dari beberapa teman yang lebih dulu memperkenalkan diri, akhirnya akupun mencoba berta’aruf dengan bernarasi (hahahay..tak ada salahnya mencoba kan?). Sebenarnya ini tantangan baru sih buatku yang masih tergolong nyubi di dunia literasi, dan akupun belum lihai menulis fiksi. Biasanya hanya memperkenalkan diri dengan mengisi form biasa, sekarang harus dibuatin cerita. Namun karena merasa tertantang, oke just try. So, This is my profil versi narasi ^_^     
Namaku di akta kelahiran adalah Trisna Fadliyah Arsyad. Aku tidak tahu apa yang mendasari orangtuaku memberi nama ini padaku. Sering aku disangka anak ketiga karena namaku berawalan "tri", padahal aku terlahir sebagai anak keenam. Kadang aku juga sering dibully, mereka seenaknya saja memplesetkan namaku menjadi nama cowok menjadi "tresno".

Kata orang Jawa "tresno" artinya cinta. Aah..padahal aku terlahir murni sebagai dara Makassar tulen, tidak ada pencampuran blasteran jawa sedikitpun dalam darahku. Ingin rasanya aku protes sama mama perihal namaku ini. Bahkan seandainya waktu itu bisa memilih nama sendiri ingin rasanya aku request namaku diganti saja. Bukannya tidak bersyukur dengan pemberian dari orang tua, hanya menurutku nama ini sedikit pasaran, waktu SMU saja ada juga teman yang namanya persis denganku, bersyukurnya nama belakangnya masih beda, jadi kami sering bingung saat guru memanggil, apakah aku yang dimaksudnya atau temanku itu jika tidak disebutkan nama lengkapnya. Tapi meskipun begitu tetap kusyukuri, toh mau kukutuk juga percuma, apalagi nama ini sudah tersematkan dalam lembaran-lembaran ijazah dan sertifikat yang telah kuikuti. Meskipun akhirnya nama ayahku yang tersemat dalam namaku di Ijazah sudah hilang sejak SD karena kesalahan dokumentasi. 

William Shakespeare pernah berkata “Apalah arti sebuah nama”. Aku kurang begitu setuju dengan perkataannya, karena menurutku nama adalah sebuah doa dan akhirnya menjadi karakter terhadap seseorang. Jadi nama haruslah mengandung arti kebaikan, karena secara tidak langsung berarti mendoakan yang mempunyai nama. Bukanlah Rasulullah pernah berkata “Berikanlah nama anakmu dengan nama yang baik dan yang bagus artinya".

Namun, bukan berarti namaku tak mempunyai arti, mungkin orangtua punya pertimbangan sendiri saat menyematkan nama ini padaku. Waktu kutanyakan alasannya, mereka berkata saat aku lahir ada tiga pencapaian dalam keluarga yang berhasil mereka raih. Pertama, mereka sudah lama menginginkan anak perempuan menemani kakakku yang masih sendiri diantara empat abangku, kerena itu kelahiranku sangat disyukurinya. Kedua, saat aku lahir bertepatan dengan wisuda sarjana mama. Ketiga, di tahun aku dilahirkan juga orangtua sudah membeli rumah di Tamalate, setelah sebelumnya hanya tinggal di panti asuhan sebagai pengasuh anak-anak panti disana. Jadi, semua kakakku lahir dan dibesarkan dilingkungan panti asuhan bersama anak-anak panti. Itulah katanya tiga fadilah yang diperolehnya ditahun yang sama dan berdekatan momentnya dengan moment kelahiranku itu, karena itulah namaku diberi awalan “tri” sebagai simbol pengingat, dan fadliyah yang berarti fadillah. Hmm..panjang juga ternyata sejarahnya yah?    
      
Mamah memanggilku dengan sebutan sesukanya, kadang memanggil aku dengan nama inna, terkadang juga risna. Abba memanggilku " Nak " Sebutan lain dari anak. Saat masih kecil saudara-saudaraku sering memanggil dengan " paidu ", akupun tidak mengerti asal muasal panggilan ini, mungkin panggilan sayang saat masih bocah dulu. Teman sekolah memanggil dengan nama lengkapku “trisna”, teman kerja memanggil dengan sebutan “tris” saja, teman-teman di grup ODOJ memanggilku dengan "detris", singkatan dari dek trisna, karena memang digrup itu aku tergolong yang lumayan muda dari beberapa teman yang sudah emak-emak, dan suamiku memanggil dengan sebutan “cinta” sebagai panggilan ter”sweet” katanya hahaha. But..it’s oke, apapun panggilannya, orangnya tetap sama kan? yang dimaksud adalah wanita manis nan cantik wkwkwk (nampaknya pembaca mulai marah dan tidak sudi aku memuji diriku sendiri, okey diulangi) namun yang dimaksud adalah wanita yang biasa-biasa saja.

Aktifitasku hingga saat ini, masih bekerja di sebuah perusahaan swasta nan jauh disono, namun alhamdulilah masih terdapat dalam peta di google map, maklum selama bekerja setamat kuliah, takdirku teryata berkerja dan mengais rezeki harus jauh dari keluarga dan hidup rantau di negeri orang *halah..padahal masih sepulau kok (hidup itu berat jenderal hahaha). Sebenarnya sekarang aku punya kegiatan baru yang belum sebulan ini kujalani, yaitu menjadi istri dan ibu rumah tangga. Namun sayangnya, status ini masih belum sepenuhnya kujalani, status memang sudah berubah namun karena harus hidup jauh dari suami, sehingga kehidupan berumah tangga masih belum kurasakan, belum dapat feel dan gregetnyalah. Semoga suatu saat aku bisa total menjalankan kewajibanku sebagai istri, kalaupun harus bekerja setidaknya yang dekat sajalah dan tidak meninggalkan keluarga. Kemudian berharap tidak lama lagi juga Allah bersedia mempercayakan padaku untuk mengemban amanah menjadi ibu sehingga Dia berkenan menitipkan calon mujahid dan mujahidah di rahimku. Amin.     

Setahun belakangan ini aku juga mulai punya hobi dan aktifitas baru yaitu menulis. Aku mulai mencintai dunia literasi yang baru beberapa bulan belakangan menjadi hobi, bagaikan anak bayi yang baru menetas. Hobi inipun bisa dibilang kebetulan dan sangat tiba-tiba, mungkin karena akhir-akhir ini aku lebih sering berimajinasi dan menghayal. Mungkin benar kata orang kalau penulis adalah penghayal yang baik. Sepi ditempat yang ramai, dan ketika ditempat sepi menjadi ramai sendiri. Mungkin begitulah aku sekarang. Kalau ada yang dinamakan teman dunia khayal, mungkin aku memilikinya. Akhirnya, menulis juga bisa mengalihkan kesepianku yang seringkali baper karena harus jauh dari suami hiks. Karena itu ilmuku dalam bidang ini masihlah setitik noda, pemahaman kosakata masih belepotan dan masih belajar merangkai kata. Masih perlu banyak belajar lagi. Mohon doanya yah, semoga kepala ini senantiasa diberikan pengetahuan dan ilmu dariNya sehingga semakin sering berbagi tulisan dan hikmah yang bermanfaat bagi orang lain. Amien 

Kupikir cukuplah yah perkenalan singkat dari aku, kalau ada yang masih kepo, boleh kok mengepoin di whatsapp, bbm, atau media socialku, aku welcome dengan setiap pertemanan. Akhirnya, ku akhiri dengan motto hidupku

“HIDUP DI DUNIA INI HANYA SEKALI, BERUPAYALAH UNTUK BISA BERBAGI DAN MEMBERIKAN MANFAAT BAGI ORANG LAIN, AGAR KEHIDUPAN MENJADI SEMAKIN BERMAKNA. SALAH SATUNYA MUNGKIN DENGAN MENULIS”

Entah Apa Yang Merasukimu Bu Sukma

Setelah membandingkan konde dengan cadar, suara kidung dengan azan, sekarang Bu Sukma kumat lagi dengan membandingkan Nabi Muhammad denga...