Beberapa hari ini kesehatan mama kurang baik, mungkin karena terlalu banyak pikiran juga, apalagi dia selalu memikirkan keadaanku yang jauh dari suami. Karena itu belakangan ini saya menelponnya lebih sering. Nah..karena itu pula mama jadi lebih rewel dan sering baper, telat dikit balas wa di kiranya hapeku seharian gak aktif, telat dikit ngangkat telpon dipikirnya saya sengaja gak mau bicara karena takut di interogasi hahaha (maklum mama kalau nelpon kayak’ pengacara aja, semua ditanyain muehehe). Namun saya paham perasaannya, mungkin semua mama di dunia seperti itu sebagai bentuk perhatiannya kepada anaknya, sepertinya bukan mama yang butuh perhatianku, tapi saya yang lebih butuh perhatian mama. Seperti semalam dia mengirimkan saya pesan whatsapp seperti di bawah ini yang menggambarkan perasaannya memikirkan diriku (hikss..jadi terharu, tetiba kangen saya mak’?)
Tak ayal lagi setiap menelpon pasti dia tidak pernah alfa menanyakan saya kapan resign? Kapan mau konsen mengurus keluarga sendiri? Sampai kapan mau pisah-pisahan sama suami? Kenapa suami gak kesini? (hadeh..banyaklah pokoknya pertanyaan nya, tapi gak apa-apalah, toh semua pertanyaannya adalah bentuk perhatian kan? hehe). Sampai mama tau loh, di usia pernikahanku yang sekarang sudah 8 bulan, dia sampai tahu waktu ketemuanku sama suami saat cuti ternyata belum sampai 30 hari (ya..ampunn..saya aja gak ngitung loh ma ?)
Semenjak Abba meninggal Februari kemarin, mama memang sepertinya agak kesepian, karena itu atas desakan Mama, k’Aik juga sudah mengajukan surat pindah agar bisa mutasi ke Bandara Hasanuddin Makassar dan sementara proses pengurusan, karena itu bertambah dahsyatlah desakan untuk saya segera resign agar kami bisa berkumpul lagi semua di Makassar.
Sebenarnya tanpa mama memintapun saya juga ingin sekali bisa dekat keluarga, apalagi disaat-saat sekarang, pengen rasanya bisa merawat mama diumurnya yang telah memasuki usia senja. Entah bagaimana perasaanku saat bulan Mei lalu mendapat kabar dari K’ira kalau mama harus dibawa ke RS.Grestelina karena dadanya sakit. (rasanya nyesek banget). Kalau saja waktu itu K’ira tidak cepat mengabarkan kalau mama sudah baikan dan sudah pulang kerumah, hampir saja saya mengajukan izin untuk pulang dulu ke Makassar, apalagi K’Opi juga waktu itu tidak sedang berada di Makassar, dia pergi menjenguk Anis di Bogor, saya jadi tambah was-was, namun setelah bicara sama mama hatiku jadi lebih sedikit tenang karena dia bilang sudah baikan (entah memang begitu sebenarnya atau hanya karena tidak ingin membuatku khawatir), namun saya selalu mendoakannya di setiap sujudku, semoga mama diberi kesehatan terus oleh Allah. Amin ya Rabb
Memang, sayapun merasa penyesuaian yang cukup berat diawal menikah adalah penyesuaian pekerjaan, apalagi tempat kerjaku yang diluar kota dan jauh dari keluarga. Saya bukannya tidak sadar bahwa tugas istri yang paling utama adalah mengurus keluarga dirumah, kalaupun ingin bekerja harusnya pekerjaan itu tidak melalaikan dari tugas utama sebagai istri. Sayapun cukup lama merenungi ini, hingga akhirnya saya dan suami sepakat menyetujui jalan ini dulu mengingat sayapun masih terikat dengan kewajiban di perusahaan hingga tahun depan.
Bukannya saya tidak mau berhenti bekerja, hanya saja yang paling kutakutkan sebenarnya daripada masalah finansial pasca resign adalah masalah kebosanan dengan rutinitas ibu rumah tangga yang bakalan menjenuhkan. Jujur, saya bukanlah tipikal wanita rumahan yang betah berlama-lama dirumah menghabiskan hari. Saya bekerja bukan hanya karena alasan uang semata, namun juga karena aktualisasi diri dan eksistensi. Meskipun sekarang, sebagai pasangan yang baru menggenap, kitapun masih tertatih-tatih memenuhi kewajiban membayar utang pasca nikah kemarin, selain itu masih banyak lagi kebutuhan-kebutuhan lain yang harus kita penuhi.
Kata orang “Uang istri adalah uang istri, sedangkan uang suami juga adalah uang istri” hahaha. Meskipun nampaknya tidak adil, tapi begitulah adanya. Suamilah yang bertanggung jawab menafkahi dan menghidupi serta memenuhi segala kebutuhan istri. Bukannya saya tidak percaya kepada suami yang mampu menopang beban finansial keluarga seorang diri, hanya sajabanyak pertimbangan-pertimbangan lain yang mesti dipikirkan.
Sebagai istri, sebenarnya sayapun cukup tahu diri untuk mengalokasikan uang suami, hanya pada pos-pos kewajiban dia sebagai suami yang menafkahi, seperti untuk kebutuhan sandang, pangan, dan papan (kebutuhan primer), sedangkan uang dari hasil pekerjaan saya ingin lebih banyak kualokasikan untuk kebutuhan secunder dan sesekali tersier, tentu setelah kewajiban zakat dan sedekah, saya juga berencana menabung sedikit-sedikit untuk masa depan keluarga, meskipun sesekali ingin saya belanjakan juga untuk kebutuhan saya sebagai wanita muehehe.
Kurang etis rasanya kalau kebutuhan “wanita” yang kadang sebenarnya nggak butuh-butuh banget itu, saya harus mengambil dari uang suami yang telah bersusah payah mencari nafkah, meskipun sebenarnya sudah kewajiban suami untuk memenuhi semua kebutuhan istrinya. Apalagi semenjak bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, saya suka memberi uang kepada mama dan ponakan-ponakan untuk menyenangkan mereka, serta saya aktif sebagai donatur di lembaga zakat, BMH dan panti asuhan. Saya takut kebiasaan baikku ini akan terhenti seiring dengan saya resign nantinya. Setidaknya, dengan uangku sendiri, saya merasa tidak berdosa jika harus membelanjakan uangku di pos-pos tersebut.
Jadi, sekali lagi saya bekerja bukanlah hanya karena uang semata. Saya juga butuh ruang untuk mengaktualisasikan diri. Saya punya cita-cita, karir dan masa depan yang sudah kurencanakan bahkan semenjak masih kuliah dulu. Dan rasa-rasanya sekarang masih belum rela melepasnya. Jujur, saya masih butuh waktu untuk menyesuaikan dan mensinergikan antara suami, keluarga, dan pekerjaanku, Maaf, jika beberapa kali salah satu diantaranya ada yang kurang terurus. Dan sekarang, ketika saya dihadapkan pada pertanyaan itu lagi “Family OR Career?”, saya belum siap memilih dan melepaskan salah satu di antara keduanya, karena dua-duanya masih sangat penting buatku. Semoga saja kalian tidak memberikanku pilihan yang sulit.
No comments:
Post a Comment