Baru beberapa hari yang lalu saya menulis tentang galaunya memilih family or career (baca juga: Family Or Career?), eeh..semalam mama menelpon dan saya di desak untuk memilih keluarga dan segera resign dari pekerjaanku hahaha.
Minggu ini adalah minggu yang berat bagiku, di saat kerjaanku lagi banyak-banyaknya, mempersiapkan audit ISO jaminan mutu dan K3 yang sudah di depan mata, dimana divisiku Quality Control yang pastinya paling sibuk karena paling berhubungan dengan mutu , saya malah tidak bisa konsentrasi dan tidak fokus dengan kerjaan, document jadi tidak terurus, pikiran jadi bercabang-cabang ?
Apa pasal?
Sebagaimana hari-hari sebelumnya, semalam mama menelpon lagi dan kembali menanyakan pertanyaan yang berulang setiap harinya “Jadi kapan nak rencana resign dari situ”? Sebenarnya ini bukan pertanyaan baru sih, dari awal-awal nikahpun udah sering di berondong pertanyaan itu, namun beberapa bulan belakangan pertanyaan itu sudah sempat menghilang, tapi akhirnya muncul lagi deh ke permukaan gegara suamiku tidak datang menjengukku ke Manado saat cutinya kemarin, pun dia juga tidak sempat datang kerumah. Akhirnya mama jadi parno, di kiranya saya sama suami lagi bertengkar, padahal kita baik-baik saja *eeh..tapi ada juga sih bertengkarnya sikit, tapi biasalah itu dalam rumah tangga hahaha
Sebenarnya bukan cuma mama sih yang getol menyerangku dengan pertanyaan itu, namun semua keluargaku yang lain; K’umi, K’opi, K’ira, dan K’marwah juga jika mereka menelponku yang dibahas cuma itu-itu saja. Sepertinya mereka kompak membombardirku dengan pertanyaan itu, seolah-olah mereka pikir jika sudah satu suara saya akan mengajukan surat pengunduran diriku besok, hmmmm?
Sumpah, pertanyaan itu bahkan lebih mengerikan dari pertanyaan “ Kapan nikah” atau “Sudah isi belum”? Bukannya saya bosan mendengar petuah-petuah mereka, namun setiap hari, setiap waktu, saat menelponku mereka membicarakan hal yang sama terus sambil diikuti dengan kalimat:
“ Lebih baik mengutamakan keluarga daripada karir dek, adaji lagi nanti jalan rezki yang lain itu biarki tidak disitu kerja, karena rezkinya orang sudah dijatah, apalagi kalau kita meninggalkan sesuatu Allah, akan diganti yang lebih baik” kata Kak Marwah
“Kasian suamita juga nak kalau ditinggal terus, dia pulang cuti masih mamanya sama adeknya yang urus, padahal sudahmi nikah, harusnya istrinyami yang urus”, kata Mama
“Umurta juga sudah berapa nak’, Mama dulu diumur 28 empatmi anakku, perhatikan juga keturunan”
“ Rumah tangga itu rawan godaan kalau jauh-jauhan terus, apalagi kalian yang baru-baru nikah langsung pisah, belum ada anak yang menjadi perekat hubungan. Kita wanita dek’ punya batasan umur, jadi jangan mau tunda-tunda punya anak karena kerjaan “kata Kak Ira
“ Janganmi mengejar uang terus, bukanji kewajibannya inna mencari nafkah, biar lagi banyak uang kalau keluarga terlantar untuk apa dek” kata Kak umi.
“Itu rumah adami dek, mobil juga adami, tapi untuk apa kalau tidak ada nakhoda nya, tidak ada penunjuk arahnya? Bagaimana mau tercipta itu keluarga SAMAWA kalau tidak pernah tinggal seatap”? Saya dulu menikah malah dari nol, lamaku tinggal ditamalate karena sudahpi nikah baru kumpul-kumpul uang sedikit-sedikit supaya beli tanah, beli mobil, enak sekalimi kalian itu “kata kak opi.
Dan bla..bla..bla..
Aaaarrgggh..Toloooong! Hayati lelah bang mendapat serangan bertubi-tubi ?. Yah..saya tahu maksud mereka baik. Disatu sisi saya senang masih ada keluarga yang selalu memberikan nasehat dan masukan buat saya apalagi untuk rumah tanggaku, namun disisi lain ada sedih juga mendengar nasehat itu. Kenapa? Karena secara tidak langsung mereka memikirkan kami, yang itu berarti menjadi beban pikiran lagi, apalagi mama yang akhir-akhir ini kesehatannya kurang begitu baik. Mamaku ini tipe pemikir dan sensitive orangnya, jadi apa yang dirasanya ganjil dan tidak sesuai dengan keinginannya pasti selalu menjadi beban pikirannya. Dan terlebih sedih lagi karena saat ini belum bisa mengabulkan permintaan dari orang-orang tersayang itu.
Saya tahu pernyataan mereka diatas ada benarnya, namun kenapa yah saya menangkapnya seperti sebagai penghakiman buat saya, kalau saya adalah istri yang tidak becus mengurus suami dan rela menelantarkannya demi karir? (wooy..woooy..positif thingking wooiiy). Nah..kan..gue lagi deh yang salah? Memang yah, wanita itu tempatnya salah ?! Akhirnya saya lagi deh yang jadi pelaku dan suamiku yang jadi korban, kerjaanku lagi yang jadi kambing hitam. Omaaaaay, jangan sampai mereka pikir saya lebih memilih mengejar uang dan santai-santai saja meninggalkan suami, padahal sayalah sebenarnya yang paling menderita menjalani hubungan LDM-an seperti ini.
Did you know apa yang kupikirkan? Apa yang ada dibenakku? Apa yang menjadi perdebatan dihatiku? Aaah..sudahlah..biarlah ini menjadi perbincanganku dengan Tuhanku saja disudut malam. Tapi ya Rabb..saat ini rasanya benar-benar galau, tak tahu jalan mana yang harus kutempuh, rasa-rasanya kakiku terikat rantai berkilo-kilo beratnya, mau maju berat sekali, mundurpun sama beratnya.
Pertanyaan kapan resign itu bukanlah seperti jawaban matematika semudah menjawab pertanyaan 1+1? Tapi banyak proses yang harus dilalui dan dipertimbangan sebelum memutuskan untuk resign? Saya tidak bisa egois dan hanya memikirkan diri sendiri, setidaknya saya juga harus memikirkan perusahaan yang telah memberiku penghasilan beberapa tahun ini, apalagi untuk saya yang menjadi bagian inti di perusahaan ini (saya memegang beberapa jabatan dan posisi). Mulai dari pabrik di bangun, untuk posisi QC sudah saya yang pegang dari awal dan tidak ada orang lain yang bisa menggantikan posisiku kalau saya memutuskan resign tiba-tiba. Karena itu kalaupun di kemudian hari saya memutuskan untuk resign, haruslah sudah direncanakan jauh-jauh hari untuk bisa mencari orang yang bisa menggantikan posisiku dan mentrainingnya terlebih dahulu sampai dia bisa, baru saya bisa resign. Begitulah prosedur dalam dunia kerja, agar hubungan baik dengan perusahaan masih bisa tercipta. Itu bagian dari attitude karyawan, prinsip ini jugalah yang kupegang sehingga saya masih berhubungan baik dengan bos-bosku di perusahaan terdahulu, sehingga mereka tidak segan untuk memanggilku kembali jika ada proyek barunya atau saya tidak segan meminta kerjaan, karena menjalin silaturahmi juga adalah bagian dari jalan rezki. Karena itu saya tidak pernah mau meninggalkan kesan buruk di perusahaan tempatku bekerja, karena perusahaan telah berjasa memberikan penghasilan, pengalaman, dan teman-teman baru buat kita. Jadi, jika ingin resign gak bisa tiba-tiba pengen langsung main resign aja, tapi harus mengikuti prosedur.
Karena itu, jawaban dari pertanyaan ” Kapan Resign” itu biarlah kupending dulu, apalagi untuk sekarang di saat perusahaan lagi sibuk-sibuknya mengurus sertifikat ini itu, tapi saya janji akan memikirkannya juga, meskipun saya tak bisa berjanji akan mendapatkan jawabannya segera, kayaknya mesti segera bertapa dulu mencari ilham nech
.



No comments:
Post a Comment