Semenjak habis lahiran dan menjadi ibu ada banyak sekali cerita-cerita personal yang ingin saya bagikan, walaupun pada akhirnya tidak sampai saya tuliskan karena kesibukan mengurus baby Nafiz dan menyelesaikan urusan domestik rumah tangga. Badan saya ini sepertinya kagetan saat menjadi new mom dan berhadapan dengan kebiasaan-kebiasaan baru pasca punya baby, namun alhamdulilah saya tidak sampai terkena Baby Blues.
Sudah satu bulan ini punggung sama bahu saya tegang kayak habis lari maraton berkilo-kilo karena baby Nafiz pengennya digendong terus siang dan malam. Saat digendong dia anteng dan cepat tidurnya, namun ketika diletakkan di kasur dia langsung bangun. Capek? iyaa, tapi perasaan capek itu hilang begitu saja saat melihat Nafiz yang semakin hari semakin menggemaskan.
Waktu berlalu dengan cepat, beberapa hari lagi cuti saya sudah habis dan harus kembali memasuki dunia kerja. Saya ini seperti belum bisa move on sepenuh hati, saya belum rela waktu saya dalam mengurus Nafiz akan terbagi, rasanya saya masih lindu-lindu suasana berdua dengan Nafiz.
Baca Juga (Kapan Resign)
Semalam saya sempat berdiskusi dengan suami tentang bagaimana kelanjutkan karir saya setelah adanya nafiz, setelah itu air mata saya menetes saat memandangi wajah Nafiz yang lagi tidur karena membayangkan dia akan saya titipkan sama orang lain saat saya kerja, saya juga tidak lupa minta maaf karena tidak bisa sepenuhnya mendampingi hari-harinya (semoga ngerti ya Nak kalau bunda kerja juga untuk Nafiz), saya baper bin galau pemirsah haha.
Ada beberapa hal yang membuat saya galau saat bekerja dan meninggalkan Nafiz di rumah;
Ada beberapa hal yang membuat saya galau saat bekerja dan meninggalkan Nafiz di rumah;
1. Jiwa Saya Pasti Nggak Bakalan Tenang.
Ibu mana coba yang akan tenang-tenang saja menitipkan anaknya pada orang lain, bahkan meskipun itu orang tuanya sendiri, apalagi sama seseembak yang nggak ada ikatan batin apa-apa sama anak kita. Meninggalkan Nafiz di rumah pastinya akan membuat saya tidak tenang bekerja, karena ada-ada saja kekuatiran yang saya rasakan. Belum lagi, perbedaan pola asuh yang ingin diterapkan.
Ibu mana coba yang akan tenang-tenang saja menitipkan anaknya pada orang lain, bahkan meskipun itu orang tuanya sendiri, apalagi sama seseembak yang nggak ada ikatan batin apa-apa sama anak kita. Meninggalkan Nafiz di rumah pastinya akan membuat saya tidak tenang bekerja, karena ada-ada saja kekuatiran yang saya rasakan. Belum lagi, perbedaan pola asuh yang ingin diterapkan.
Sebenarnya Mama pengennya saya berhenti sementara dulu bekerja sampai Nafiz besar-besar sedikit baru kembali ke dunia kerja, tapi mana bisa seperti itu, apalagi di perusahaan tempat saya bekerja posisi saya tidak ada yang bisa mengisi kalau saya terlalu lama cuti, terpaksa habis masa cuti 3 bulan saya sudah harus bekerja kembali.
2. Ngebayangin Saat Anak Sakit
Saya selalu berharap dan berdoa kalau anak saya sehat-sehat terus, apalagi di tempat saya merantau fasilitas kesehatan masih kurang memadai, dokter anak tidak ada dan rumah sakit jauh. Perasaan gelisah galau merana menyatu jadi satu saat membayangkan jika suatu saat Nafiz sakit. Saya belum merasakan galau yang ini (semoga tidak merasakan), tapi saya sering menyaksikan teman-teman di kantor yang badannya ada di kantor, tapi pikirannya ada di rumah. Mau kerja tidak konsentrasi karena ingat anak yang sakit, mau cuti atau izin juga nggak bisa terus-terusan. Di satu sisi ingin bekerja dengan baik, disisi yang lain kasihan anak di rumah.
Saya selalu berharap dan berdoa kalau anak saya sehat-sehat terus, apalagi di tempat saya merantau fasilitas kesehatan masih kurang memadai, dokter anak tidak ada dan rumah sakit jauh. Perasaan gelisah galau merana menyatu jadi satu saat membayangkan jika suatu saat Nafiz sakit. Saya belum merasakan galau yang ini (semoga tidak merasakan), tapi saya sering menyaksikan teman-teman di kantor yang badannya ada di kantor, tapi pikirannya ada di rumah. Mau kerja tidak konsentrasi karena ingat anak yang sakit, mau cuti atau izin juga nggak bisa terus-terusan. Di satu sisi ingin bekerja dengan baik, disisi yang lain kasihan anak di rumah.
Saya jadi ingat sahabat saya yang akhirnya memilih resign karena tidak diizinkan kantornya untuk mendampingi anaknya yang rawat inap di rumah sakit. Dia kecewa karena kantornya tidak mengerti perasaannya sebagai seorang ibu yang ingin mendampingi dan merawat anaknya dan akhirnya memilih resign karena merasa bersalah sama anak. Sebagai seorang ibu saya mengerti apa yang dirasakannya.
3. Bagaimana Pendidikan Anak Saya Nanti?
Saya tahu banyak ibu-ibu yang berkarier dan anak-anaknya juga sukses. Tapi apa iya kualitas saya sama dengan ibu-ibu itu? saya akui dengan jujur, saya tidak cukup percaya diri bisa tetap memberikan pendidikan terbaik untuk anak saya sedang saya tidak mendampinginya.
Saya tahu banyak ibu-ibu yang berkarier dan anak-anaknya juga sukses. Tapi apa iya kualitas saya sama dengan ibu-ibu itu? saya akui dengan jujur, saya tidak cukup percaya diri bisa tetap memberikan pendidikan terbaik untuk anak saya sedang saya tidak mendampinginya.
Beberapa waktu yang lalu saya menamatkan membaca buku ‘5 guru kecilku’ yang berkisah tentang perjuangan teh Kiki Barkiah yang memilih menyimpan ijazahnya demi mendampingi anak-anaknya home school, padahal dia tamatan ITB jurusan elektro, sebuah kampus favorit dan jurusan yang lumayan bergengsi. Sebelum itu saya juga sudah mendengar kisah Ainun Habibie yang memilih menjadi IRT dan menyimpan ijazah kedokterannya karena tidak rela anaknya di asuh oleh orang lain selain ibunya, saya jadi semakin galau pemirsah 
Belum lagi ada-ada saja cerita yang bikin saya mikir 1000x bagaimana pendidikan anak saya jika saya tetap bekerja. Saya pernah membahas ini dengan teman saya di kantor, dia cerita kalau anak balitanya yang kecanduan gadget karena pengasuhnya yang selalu memberikan anaknya hp biar anteng. Cerita dari teman yang lain, anaknya suka nonton sinetron karena neneknya yang jaga juga suka sinetron.
4.Bagaimana Pengaruh Lingkungan Buat Anak Saya Nanti?
Sebelum menjadi ibu, bahkan jauh sebelum menikah saya sudah berniat bahwa jika mempunyai anak nantinya saya sendiri yang akan membentuk kepribadian dan karakternya. Ini karena tantangan dalam mendidik anak zaman now tidaklah mudah, banyak sekali pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungan yang akan mempengaruhi kepribadian dan karakter anak, belum lagi pengaruh buruk dari teman-temannya, apalagi saya sadar tempat saya merantau lingkungannya kurang bagus buat perkembangan anak, saya jadi semakin galau jika harus menyerahkan anak saya sama orang lain, saya takut karakter yang pola asuh yang dia terapkan berbeda dengan yang saya mau dan tidak sesuai tuntunan Islam.
Sebelum menjadi ibu, bahkan jauh sebelum menikah saya sudah berniat bahwa jika mempunyai anak nantinya saya sendiri yang akan membentuk kepribadian dan karakternya. Ini karena tantangan dalam mendidik anak zaman now tidaklah mudah, banyak sekali pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungan yang akan mempengaruhi kepribadian dan karakter anak, belum lagi pengaruh buruk dari teman-temannya, apalagi saya sadar tempat saya merantau lingkungannya kurang bagus buat perkembangan anak, saya jadi semakin galau jika harus menyerahkan anak saya sama orang lain, saya takut karakter yang pola asuh yang dia terapkan berbeda dengan yang saya mau dan tidak sesuai tuntunan Islam.
5. Ketika Gaji Habis Untuk Bayar Baby Sister.
Beberapa teman dan keluarga menyarankan untuk bekerja di Makassar. Namun saya pikir-pikir, jika bekerja di Makassar dengan gaji yang pas-pasan pastinya hanya akan habis jika nantinya saya menyewa baby sister. Lalu yang saya cari apa? Bukankah saya bekerja untuk masa depan anak? saya memikirkan hal ini sampai keringatan hehe. Karena itu untuk saat ini saya memutuskan untuk tetap merantau dan bekerja dengan gaji yang lumayan agar bisa menabung dulu untuk masa depan anak, karena saya sadar bahwa kebutuhan saat ini serba butuh duit membuat saya berpikir banyak kali untuk meninggalkan pekerjaan, apalagi sekarang sudah ada Nafiz yang juga mempunyai banyak kebutuhan.
Beberapa teman dan keluarga menyarankan untuk bekerja di Makassar. Namun saya pikir-pikir, jika bekerja di Makassar dengan gaji yang pas-pasan pastinya hanya akan habis jika nantinya saya menyewa baby sister. Lalu yang saya cari apa? Bukankah saya bekerja untuk masa depan anak? saya memikirkan hal ini sampai keringatan hehe. Karena itu untuk saat ini saya memutuskan untuk tetap merantau dan bekerja dengan gaji yang lumayan agar bisa menabung dulu untuk masa depan anak, karena saya sadar bahwa kebutuhan saat ini serba butuh duit membuat saya berpikir banyak kali untuk meninggalkan pekerjaan, apalagi sekarang sudah ada Nafiz yang juga mempunyai banyak kebutuhan.
6. Masa Menggemaskan Anak Hanya Sebentar Saja.
Bekerja berarti tidak bisa sepenuhnya mendampingi perkembangan anak, padahal masa-masa lucu dan menggemaskan anak hanya sebentar, saya tidak mau melewatkan satu momentpun selama perkembangan Nafiz. Saya ingin saya yang ada bersamanya saat dia mulai belajar tengkurap, merangkak dan berjalan. Saya kuatir ada yang terlewat saya perhatikan dari perkembangannya, Ngabayangin Nafiz udah besar, nikah, dan tinggal jauh dari saya membuat mata saya berair. Padahal Nafiz sekarang masih orok tapi saya udah takut ngebayangin dia tinggal jauh-jauh dari saya, haha.
Bekerja berarti tidak bisa sepenuhnya mendampingi perkembangan anak, padahal masa-masa lucu dan menggemaskan anak hanya sebentar, saya tidak mau melewatkan satu momentpun selama perkembangan Nafiz. Saya ingin saya yang ada bersamanya saat dia mulai belajar tengkurap, merangkak dan berjalan. Saya kuatir ada yang terlewat saya perhatikan dari perkembangannya, Ngabayangin Nafiz udah besar, nikah, dan tinggal jauh dari saya membuat mata saya berair. Padahal Nafiz sekarang masih orok tapi saya udah takut ngebayangin dia tinggal jauh-jauh dari saya, haha.
7. Zaman Sekarang Bahaya Jika Anak Tidak Didampingi Orang Tua,
Meninggalkan Nafiz bekerja, membuat saya kepikiran terus bagaimana Nafiz? Sedang apa dia? Dulu saya bawaannya sering kesal kalau orang tua saya terkesan over protektif ke saya, dan sekarang saya jadi orang tua, kayak-kayaknya sih bakal proktektip juga. Hihi. Bukannya saya parno, hanya saya takut pengaruh lingkungan akan merusak kepribadian dan karakter anakku nantinya.
Meninggalkan Nafiz bekerja, membuat saya kepikiran terus bagaimana Nafiz? Sedang apa dia? Dulu saya bawaannya sering kesal kalau orang tua saya terkesan over protektif ke saya, dan sekarang saya jadi orang tua, kayak-kayaknya sih bakal proktektip juga. Hihi. Bukannya saya parno, hanya saya takut pengaruh lingkungan akan merusak kepribadian dan karakter anakku nantinya.
Semua kegalauan yang saya tuliskan di atas membuatku semakin gundah gulana. Namun saya percaya kalau apapun yang sekarang menjadi takdir Allah, pastinya juga akan membawa kebaikan nantinya. Saya hanya bisa menitipkan dan berdoa sama Allah agar senantiasa menjaga anak saya di kala saya belum bisa mendampingi sepenuhnya sambil terus berusaha dan berikhtiar agar suatu saat nanti saya bisa mempunyai waktu full dalam mengurus dan mendidik Nafiz. Amin
Baca juga (Family Or Career?)
No comments:
Post a Comment